Kebijaksanaan Cinta ala Amir bin Abdillah
Penaklukan kota-kota persia selalu membuat takjub kaum Muslimin. Terkhusus bagi para Mujahidin yang dengan getir berpayah-payah berjuang di dalamnya. Bagaimana tidak? Pada dasawarsa pertama hijriyah, Persia merupakan negeri makmur adidaya. Rancak dengan bangunan-bangunan tinggi bertakhta permata. Sejuk dengan udara khas Syam yang bukan hanya melipir panas bukit-bukit pasir namun juga menyejukkan lagi memanjakan raga. Tak luput hasil perkebunan ala negeri timur yang lezat manis dan segar asamnya dirindu lidah-lidah dari berbagai belahan dunia.
Ah! Disempurnakan juga istana megah kerajaan Kisra. Tapi bagaimanapun jua, riwayat kemenangan peperangan Qadisiyah punya kisah sejarah yang lebih indah dari berlian permata kerajaan Persia termasyhur ini.
Inilah Sa'd bin Abi Waqqash, komandan perang yang atas izin Tuhannya, Ia beserta pasukan setia berhasil membenarkan basirah Rasulullah akan takluknya kerajaan Kisra. Kemudian kita juga tahu bahwa kemenangan atas kerajaan-kerajaan persia selalu menjanjikan ghanimah yang jamaknya tak terkira.
Benar saja! Tertutup di bawah bebatuan keramik dengan ukiran khas kisra, ada keranjang besar berisi bejana-gelas berbahan perak dan emas yang biasa dipakai para darah biru kerajaan Persi untuk santap minum. Ada pula sebuah kotak dari kayu mewah yang tatkala dibuka ternyata berisi baju-baju, sandang selendang kaisar yang berenda permata berhias mutiara. Ditemukan pula kotak perhiasan berisi kalung dan gelang-gelang indah yang biasa dipakai putri-putri kerajaan untuk bersolek diri bermewah-mewah.
Diluar istana para mujahid tersisa yang gagal syahid dengan mendapatkan kemenangan mulia sedang sibuk-sibuknya menghitung ghanimah yang begitu banyak tak terkira. Luar biasanya masing-masing mereka disergap rasa takut, karena begitu dekatnya mereka dengan kenikmatan dunia yang tak pernah mereka jamah di sepanjang jazirah sebelumnya.
Syahdan, ketika manusia-manusia tersibukkan dengan kegiatan hitung-menghitung harta rampasan perang, seorang lelaki berlapis pakaian kain serupa belacu muncul dari salah satu sudut yang terabai mata. Tampangnya kusut. Berkeringat bercampur debu. Semrawut. Jalannya tergopoh-gopoh terbebani. Dipundaknya terpikul satu kotak perhiasan yang berukuran raksasa. Paling besar! Beberapa pasang mata yang mulanya menyapu acak berkeliling di antara korban-korban perang tergeletak, kini mulai tertuju lamat-lamat mengikuti gerak-gerik lelaki lusuh tadi. Mereka memerhatikan dengan seksama. Belum pernah mereka lihat ada kotak yang sebesar dan sebanding dengan kotak yang dibawa lelaki itu!
Sang lelaki kepayahan menurunkan kotak tersebut dari pundaknya. Beberapa pasang tangan yang barusan tertohok terkesima, tanpa sadar kini mulai sigap mengulur membantu. Mereka menyaksikan di dalamnya, ternyata penuh berisi permata, intan dan mutiara. Membludak!
Mereka bertanya kepada lelaki tersebut “Di manakah Anda dapatkan simpanan paling berharga ini?”
Lelaki itu menjawab singkat “Dari arah seberang sana.” Sambil berisyarat dengan telunjuknya yang berbedan hitam membengkak.
“Sudahkah Anda mengambil sebagiannya?” Tanya seorang disudut lain, mulai mencurigai.
“Semoga Allah memberikan hidayah kepada kalian!” Seru lelaki tersebut yang nadanya kini mulai meninggi, “Demi Allah, sesungguhnya apa-apa yang dimiliki raja-raja Persi bagiku tidaklah sebanding dengan kuku hitamku! Kalaulah bukan karena ini semua merupakan hak bagi kaum muslimin, niscaya aku tidak sudi mengangkatnya dari dalam tanah dan tidak akan kubawa kotak ini dengan payah dan susah menuju kesini!”
“Siapakah Anda wahai saudaraku yang mulia hatinya? Semoga Allah tetap menjagamu dalam kemuliaan.” Ujar para mujahidin takjub.
“Demi Allah!” ucapnya dimulai dengan sesumpah yang kokoh, “adalah diriku takkan memberitahukannya pada kalian. Karena kalian nanti akan memuji-mujiku, tidak pula akan kuceritakan pada selain kalian. Karena mereka nanti akan menyanjungku. Akan tetapi aku memuji Allah Ta'ala dan mengharap pahala-Nya.”
Kemudian ia lekas mengambil langkah membalik. Sejurus kemudian melangkah pergi. Tanpa mengambil sepotong bahkan sekeping perak pun terlebih dahulu. Maka para mujahidin yang disergap penasaran mengutus seseorang untuk senyap-senyap mengikuti. Mengintainya demi memberitahukan yang lain siapa gerangan sebenarnya lelaki mulia tersebut. Utusan tersebut setia membuntutinya hingga tibalah dirinya di sebuah kota dan bertemulah ia dengan sahabat-sahabat lelaki tersebut. Utusan itu segera bertanya kepada mereka perihal lelaki yang dibuntutinya. Lalu dengan wajah bercampur heran, orang-orang itu menjawab, “Apakah Anda benar-benar tidak mengetahui lelaki Shalih yang namanya mashyur di kota Bashrah ini? Dialah ahli zuhudnya orang Bashrah. Dialah Amir bin Abdillah At-tamimi!”
***
Frasa “saling mencintai karena Allah” begitu menyihir jiwa-jiwa umat muslim. Dari kisahnya Amir bin Abdillah kita dapat mengilhami bahwa ada keputusan-keputusan, ikhtiar-ikhtiar, jerih payah seorang muslim yang begitu dahsyat demi kebutuhan saudara-saudara selingkup iman. Dari iman sekuat imannya Amir bin Abdillah tentu muncul kesadaran bahwa payahnya peluh yang membasahi tubuh, atau tetes-tetes darah fisabilillah tentu tidak sebanding dengan kebutuhan dan keperluan saudara seiman yang belum tuntas terpenuhi. Karena frasa “saling mencintai karena Allah” memprioritaskan dahaga sahabat sejati dibanding dahaga tenggorokan sendiri. Dan kita juga tahu bahwa setiap persaudaraan berlandaskan iman, semuanya sejati..
Inilah Amir bin Abdillah yang selayang pandang episode kehidupannya benar-benar mengajari kita. Betapa pada setiap pengambilan keputusan mesti hadir pula kebijaksanaan.
Menunjuk satu jalan terbaik untuk kita dalam bercabang-cabang pilihan itu mudah. Yang susah adalah menentukan satu pilihan yang boleh jadi tidak terlalu menguntungkan kita -atau bahkan merugikan- namun dari pilihan ini hadirlah jalan yang melegakan dan membahagiakan sesama. Lihatlah Amir bin Abdillah yang wajahnya rela lusuh berkeringat basah. Peluh dan debu bercampur diantara helai rambut yang kusut. Pundaknya berbekas merah akibat menanggung beban yang pada kisahnya kemudian kita tahu tak seperak pun dari tanggungannya akan beliau nikmati. Dan setelahnya tidak kita jumpai pula dari lisannya muncul kalimat keserakahan seumpama “Aku yang susah payah memikulnya maka aku yang berhak paling banyak bagiannya!” dari lisan mulianya justru kita jumpai kalimat seindah,
“Kalaulah bukan karena ini semua merupakan hak bagi kaum muslimin, niscaya aku tidak sudi mengangkatnya dari dalam tanah!”
Dan Allah memang mengistimewakan setiap pasang bahu seorang mukmin. Keduanya dapat menanggung beban bahu saudara-saudaranya yang sebetulnya masih dapat dipikul ringan oleh masing-masing mereka. Namun pundak-pundak mukmin yang hebat memang terlalu kokoh untuk hanya sekadar menanggung urusan-urusannya sendiri. Maka dari pundak-pundak yang kuat itu muncul istilah “memudahkan urusan dunia diantara sesama saudara”. Dan janji Allah akan ganjaran bagi pegiat-pegiat amalan ini pasti. Lewat sabdanya Rasulullah shalallhu 'alaihi wa sallam, Allah berjanji “Bagisiapa yang memudahkan saudaranya di dunia, akan Allah mudahkan urusan-urusannya kelak di akhirat.”
Sekarang, urusan mana lagi yang lebih penting dan genting untuk dimudahkan Allah selain urusan yang kedua. Urusan akhirat.
Dengannya kita harus mulai terbiasa. Merasakan jasad-jasad muslim yang lain seumpama berpilin berkelindan dalam satu jiwa. Jika yang lain terhimpit sulit, perih tersakit yang satu mengerang demam sukar tertidur lelap. Ketika yang satu sedang berbahagia bersenang hati yang lain ikut bergelora gembira sembari berucap syukur tanpa henti. Karena mukmin-mukmin yang berlainan memang seumpama satu jiwa. Hanya saja kini sedang berhinggapan pada jasad-jasad yang berbeda. Maka tak berlebihan ketika dalam sebuah kesempatan, dari lisan Abu Sulaiman pernah terucapkan,
“Kusuapkan sejumput makanan ke mulut saudaraku
maka tiba-tiba aku merasakan ada lezat di lidahku,
ada yang mengalir di kerongkonganku,
dan ada yang mengenyangkan di dalam perutku...”
***
Keseluruhannya berakar dari indahnya mengambil keputusan secermat Amir bin Abdillah. Sebenarnya ada pilihan bagi dirinya untuk membawa lari harta-harta sendiri. Ada juga pilihan untuk meminta bagian mahkota-mahkota raja Kisra yang paling ternama. Atau menandai satu dua mutiara yang paling berkilau lalu memberikan sisanya yang masih ruah melimpah kepada mujahidin lain yang menunggu bagiannya. Tapi Amir bin Abdillah punya langkah bijak yang istimewa. Ia mengambil keputusan yang menurut kasat dunia merugikannya. Sudah berpayah memikul beban tapi pulang dengan kosong tangan. Disini letak kehebatannya.
Dari iman-iman istimewa selalu muncul keputusan-keputusan memesona. Mengejutkan. Tak terduga. Dan kali ini Amir bin Abdillah melakukannya. Ia berhasil memikat, memesona mujahid-mujahid lain dengan keluhuran sikap dalam menentukan pilihan-pilihan berat. Sebetulnya ada godaan untuk bermewah, ada hak untuk sedikit berserakah. Tapi nikmat iman baginya jauh lebih manis daripada dunia yang tak lebih mahal dari seujung kuku hitam di kelingkingnya. Darinya kita meneladani Amir bin Abdillah, yang berani mengambil langkah. Berani menentukan sikap paling mengundang berkah. Memilih satu keputusan, dari cabang-cabang pilihan dengan diselimuti saggezza 'Kebijaksanaan yang penuh hikmah'
Ah! Disempurnakan juga istana megah kerajaan Kisra. Tapi bagaimanapun jua, riwayat kemenangan peperangan Qadisiyah punya kisah sejarah yang lebih indah dari berlian permata kerajaan Persia termasyhur ini.
Inilah Sa'd bin Abi Waqqash, komandan perang yang atas izin Tuhannya, Ia beserta pasukan setia berhasil membenarkan basirah Rasulullah akan takluknya kerajaan Kisra. Kemudian kita juga tahu bahwa kemenangan atas kerajaan-kerajaan persia selalu menjanjikan ghanimah yang jamaknya tak terkira.
Benar saja! Tertutup di bawah bebatuan keramik dengan ukiran khas kisra, ada keranjang besar berisi bejana-gelas berbahan perak dan emas yang biasa dipakai para darah biru kerajaan Persi untuk santap minum. Ada pula sebuah kotak dari kayu mewah yang tatkala dibuka ternyata berisi baju-baju, sandang selendang kaisar yang berenda permata berhias mutiara. Ditemukan pula kotak perhiasan berisi kalung dan gelang-gelang indah yang biasa dipakai putri-putri kerajaan untuk bersolek diri bermewah-mewah.
Diluar istana para mujahid tersisa yang gagal syahid dengan mendapatkan kemenangan mulia sedang sibuk-sibuknya menghitung ghanimah yang begitu banyak tak terkira. Luar biasanya masing-masing mereka disergap rasa takut, karena begitu dekatnya mereka dengan kenikmatan dunia yang tak pernah mereka jamah di sepanjang jazirah sebelumnya.
Syahdan, ketika manusia-manusia tersibukkan dengan kegiatan hitung-menghitung harta rampasan perang, seorang lelaki berlapis pakaian kain serupa belacu muncul dari salah satu sudut yang terabai mata. Tampangnya kusut. Berkeringat bercampur debu. Semrawut. Jalannya tergopoh-gopoh terbebani. Dipundaknya terpikul satu kotak perhiasan yang berukuran raksasa. Paling besar! Beberapa pasang mata yang mulanya menyapu acak berkeliling di antara korban-korban perang tergeletak, kini mulai tertuju lamat-lamat mengikuti gerak-gerik lelaki lusuh tadi. Mereka memerhatikan dengan seksama. Belum pernah mereka lihat ada kotak yang sebesar dan sebanding dengan kotak yang dibawa lelaki itu!
Sang lelaki kepayahan menurunkan kotak tersebut dari pundaknya. Beberapa pasang tangan yang barusan tertohok terkesima, tanpa sadar kini mulai sigap mengulur membantu. Mereka menyaksikan di dalamnya, ternyata penuh berisi permata, intan dan mutiara. Membludak!
Mereka bertanya kepada lelaki tersebut “Di manakah Anda dapatkan simpanan paling berharga ini?”
Lelaki itu menjawab singkat “Dari arah seberang sana.” Sambil berisyarat dengan telunjuknya yang berbedan hitam membengkak.
“Sudahkah Anda mengambil sebagiannya?” Tanya seorang disudut lain, mulai mencurigai.
“Semoga Allah memberikan hidayah kepada kalian!” Seru lelaki tersebut yang nadanya kini mulai meninggi, “Demi Allah, sesungguhnya apa-apa yang dimiliki raja-raja Persi bagiku tidaklah sebanding dengan kuku hitamku! Kalaulah bukan karena ini semua merupakan hak bagi kaum muslimin, niscaya aku tidak sudi mengangkatnya dari dalam tanah dan tidak akan kubawa kotak ini dengan payah dan susah menuju kesini!”
“Siapakah Anda wahai saudaraku yang mulia hatinya? Semoga Allah tetap menjagamu dalam kemuliaan.” Ujar para mujahidin takjub.
“Demi Allah!” ucapnya dimulai dengan sesumpah yang kokoh, “adalah diriku takkan memberitahukannya pada kalian. Karena kalian nanti akan memuji-mujiku, tidak pula akan kuceritakan pada selain kalian. Karena mereka nanti akan menyanjungku. Akan tetapi aku memuji Allah Ta'ala dan mengharap pahala-Nya.”
Kemudian ia lekas mengambil langkah membalik. Sejurus kemudian melangkah pergi. Tanpa mengambil sepotong bahkan sekeping perak pun terlebih dahulu. Maka para mujahidin yang disergap penasaran mengutus seseorang untuk senyap-senyap mengikuti. Mengintainya demi memberitahukan yang lain siapa gerangan sebenarnya lelaki mulia tersebut. Utusan tersebut setia membuntutinya hingga tibalah dirinya di sebuah kota dan bertemulah ia dengan sahabat-sahabat lelaki tersebut. Utusan itu segera bertanya kepada mereka perihal lelaki yang dibuntutinya. Lalu dengan wajah bercampur heran, orang-orang itu menjawab, “Apakah Anda benar-benar tidak mengetahui lelaki Shalih yang namanya mashyur di kota Bashrah ini? Dialah ahli zuhudnya orang Bashrah. Dialah Amir bin Abdillah At-tamimi!”
***
Frasa “saling mencintai karena Allah” begitu menyihir jiwa-jiwa umat muslim. Dari kisahnya Amir bin Abdillah kita dapat mengilhami bahwa ada keputusan-keputusan, ikhtiar-ikhtiar, jerih payah seorang muslim yang begitu dahsyat demi kebutuhan saudara-saudara selingkup iman. Dari iman sekuat imannya Amir bin Abdillah tentu muncul kesadaran bahwa payahnya peluh yang membasahi tubuh, atau tetes-tetes darah fisabilillah tentu tidak sebanding dengan kebutuhan dan keperluan saudara seiman yang belum tuntas terpenuhi. Karena frasa “saling mencintai karena Allah” memprioritaskan dahaga sahabat sejati dibanding dahaga tenggorokan sendiri. Dan kita juga tahu bahwa setiap persaudaraan berlandaskan iman, semuanya sejati..
Inilah Amir bin Abdillah yang selayang pandang episode kehidupannya benar-benar mengajari kita. Betapa pada setiap pengambilan keputusan mesti hadir pula kebijaksanaan.
Menunjuk satu jalan terbaik untuk kita dalam bercabang-cabang pilihan itu mudah. Yang susah adalah menentukan satu pilihan yang boleh jadi tidak terlalu menguntungkan kita -atau bahkan merugikan- namun dari pilihan ini hadirlah jalan yang melegakan dan membahagiakan sesama. Lihatlah Amir bin Abdillah yang wajahnya rela lusuh berkeringat basah. Peluh dan debu bercampur diantara helai rambut yang kusut. Pundaknya berbekas merah akibat menanggung beban yang pada kisahnya kemudian kita tahu tak seperak pun dari tanggungannya akan beliau nikmati. Dan setelahnya tidak kita jumpai pula dari lisannya muncul kalimat keserakahan seumpama “Aku yang susah payah memikulnya maka aku yang berhak paling banyak bagiannya!” dari lisan mulianya justru kita jumpai kalimat seindah,
“Kalaulah bukan karena ini semua merupakan hak bagi kaum muslimin, niscaya aku tidak sudi mengangkatnya dari dalam tanah!”
Dan Allah memang mengistimewakan setiap pasang bahu seorang mukmin. Keduanya dapat menanggung beban bahu saudara-saudaranya yang sebetulnya masih dapat dipikul ringan oleh masing-masing mereka. Namun pundak-pundak mukmin yang hebat memang terlalu kokoh untuk hanya sekadar menanggung urusan-urusannya sendiri. Maka dari pundak-pundak yang kuat itu muncul istilah “memudahkan urusan dunia diantara sesama saudara”. Dan janji Allah akan ganjaran bagi pegiat-pegiat amalan ini pasti. Lewat sabdanya Rasulullah shalallhu 'alaihi wa sallam, Allah berjanji “Bagisiapa yang memudahkan saudaranya di dunia, akan Allah mudahkan urusan-urusannya kelak di akhirat.”
Sekarang, urusan mana lagi yang lebih penting dan genting untuk dimudahkan Allah selain urusan yang kedua. Urusan akhirat.
Dengannya kita harus mulai terbiasa. Merasakan jasad-jasad muslim yang lain seumpama berpilin berkelindan dalam satu jiwa. Jika yang lain terhimpit sulit, perih tersakit yang satu mengerang demam sukar tertidur lelap. Ketika yang satu sedang berbahagia bersenang hati yang lain ikut bergelora gembira sembari berucap syukur tanpa henti. Karena mukmin-mukmin yang berlainan memang seumpama satu jiwa. Hanya saja kini sedang berhinggapan pada jasad-jasad yang berbeda. Maka tak berlebihan ketika dalam sebuah kesempatan, dari lisan Abu Sulaiman pernah terucapkan,
“Kusuapkan sejumput makanan ke mulut saudaraku
maka tiba-tiba aku merasakan ada lezat di lidahku,
ada yang mengalir di kerongkonganku,
dan ada yang mengenyangkan di dalam perutku...”
***
Keseluruhannya berakar dari indahnya mengambil keputusan secermat Amir bin Abdillah. Sebenarnya ada pilihan bagi dirinya untuk membawa lari harta-harta sendiri. Ada juga pilihan untuk meminta bagian mahkota-mahkota raja Kisra yang paling ternama. Atau menandai satu dua mutiara yang paling berkilau lalu memberikan sisanya yang masih ruah melimpah kepada mujahidin lain yang menunggu bagiannya. Tapi Amir bin Abdillah punya langkah bijak yang istimewa. Ia mengambil keputusan yang menurut kasat dunia merugikannya. Sudah berpayah memikul beban tapi pulang dengan kosong tangan. Disini letak kehebatannya.
Dari iman-iman istimewa selalu muncul keputusan-keputusan memesona. Mengejutkan. Tak terduga. Dan kali ini Amir bin Abdillah melakukannya. Ia berhasil memikat, memesona mujahid-mujahid lain dengan keluhuran sikap dalam menentukan pilihan-pilihan berat. Sebetulnya ada godaan untuk bermewah, ada hak untuk sedikit berserakah. Tapi nikmat iman baginya jauh lebih manis daripada dunia yang tak lebih mahal dari seujung kuku hitam di kelingkingnya. Darinya kita meneladani Amir bin Abdillah, yang berani mengambil langkah. Berani menentukan sikap paling mengundang berkah. Memilih satu keputusan, dari cabang-cabang pilihan dengan diselimuti saggezza 'Kebijaksanaan yang penuh hikmah'
'Kebijaksanaan'
Mulialah kalimat bijaksana milik 'Abdurrahman bin Auf
yang kala itu masih lemah papa, tak tahu hendak kemana
saat ditawari sebangun rumah, sebidang tanah, dan seorang khadimah di Madinah,
Pungkasnya ramah,
“Tak usah repot wahai saudaraku, cukup tunjukkanlah aku dimana letak pasar. Tempatku dapat berikhtiar”
Mulialah kalimat bijaksana milik 'Umar ibn Al-Khaththab
Yang jasad, jiwa, harta dan tenaganya dicurahkan bagi Islam,
Kesemuanya disumbangkan demi menjemput kemenangan,
Dalam fastaabiqul khairat, beliau ra. berpesan,
“Wahai Rasulullah, ambillah separuh dari keseluruhan harta bendaku untuk Islam!”
dan sempurnalah kalimat bijaksana milik 'Abu Bakr Ash-Shiddiq
Yang amal indahnya banyak tersembunyi, mengalir sesunyi gemercik,
Amal besarnya sulit dicari, diungkap, dan ditelisik,
Kalimatnya dengan wajah tersipu, bersambung syahdu dengan amal yang mulia,
Dalam kemenangan, fastaabiqul khairat, Beliau ra berkata,
“Wahai Rasulullah, ambillah hartaku duniaku dan sisakan saja bagi keluargaku Allah dan Rasulnya!”
Dari manusia-manusia langit itu kita belajar sebuah hakikat,
bahwa bijaksana benar-benar punya hubungan dekat
dengan pengorbanan jiwa dan cinta yang menyengat.
By: Ghazi Azhari
0 Komentar: