Iman, Ilmu, dan Kita
Gambar dari @the_rabbaanians |
Kalian pasti sudah sering kali mendengar pepatah "Tuntutlah ilmu hingga ke negeri Cina". Apa makna di baliknya? Pepatah itu mengisyaratkan bahwa ilmu adalah hal penting. Bahkan untuk meraihnya saja sampai dianjurkan pergi ke negara atau tempat yang jauh, dimana terdapat ahli-ahli di bidang ilmu berkaitan.
Berhubungan dengan itu, tulisan ini akan membahas tentang pentingnya ilmu bagi seorang Muslim. Pembahasan ini disarikan dari salah satu bab dalam buku "Manhaj Hidup Muslim", karya Abu A’la Al- Maududi. Beliau adalah seorang ‘alim, pemikir Islam kontemporer yang ulung serta pengasas al-Jama’ah al-Islamiyyah di India. Bab ini membahas pentingnya ilmu sebagai dasar kewajiban kita sebagai seorang Muslim. So, yuk kita ulas bersama.
Kita sebagai Muslim seharusnya merasa sangat bersyukur. Kenapa? Karena kita telah memeluk agama yang diridhai Allah dan berada dalam kelompok ummat Nabi Muhammad SAW. Allah sendiri telah menyatakan Islam sebagai karunia-Nya yang terbesar. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an :
Selain itu, memilih hidup sebagai seorang Muslim juga merupakan hidayah terbesar yang Allah berikan. Seseorang tidak disebut Muslim karena orangtua dan keluarganya beragama Islam. Apakah seseorang sudah membawa Islam pada waktu ia dilahirkan? Apakah seorang Muslim terlahir begitu saja sebagai Muslim? Seperti misalnya seorang bangsawan terlahir sebagai bangsawan? TIDAK.
Seseorang tidak bisa disebut Muslim hanya lewat faktor-faktor tersebut. Seseorang tidak disebut Muslim karena ia tergolong dalam suatu kelompok atau bangsa tertentu. Tetapi seseorang dapat dikatakan Muslim apabila ia menerima Islam sebagai agamanya. Pernahkah kalian berfikir demikian?
Kita semua adalah orang yang beruntung telah memutuskan untuk menjadi seorang Muslim. Seperti hal yang kita tahu, Islam bukan agama yang memaksa. Kita sebagai manusia juga memiliki hak untuk memilih. Bisa saja kita dilahirkan dikeluarga yang memeluk Islam tapi kemudian memutuskan untuk melepaskan Islam, dan secara otomatis kita bukan lagi seorang Muslim (Na’udzubillahmindzalik).
Sehingga, kita dapat menyimpulkan bahwa anugerah Allah yang terbesar adalah sebutan sebagai seorang Muslim. Bukan harta yang diwariskan dan juga bukan gelar bangsawan yang melekat dari orangtua.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa: Islam adalah sebutan terhadap ilmu dan tindakan mempraktikan ilmu tersebut. Seseorang tidak dapat menjadi seorang Muslim tanpa memiliki ilmu, karena Islam tidak diperoleh dari faktor keturunan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Kalau seseorang tidak mengetahui apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW, bagaimana ia bisa mendaku beriman? Dan bila ia menyatakan keimanannya tanpa kesadaran dan pengertian mengenai ajaran tersebut, bagaimana ia dapat menjadi seorang Muslim? Seorang Muslim yang sebenarnya ialah yang tahu apa makna Islam yang sebenarnya dan menyatakan keimanannya kepada Islam dengan penuh kesadaran.
Perbedaan utama antara orang kafir dengan Muslim bukanlah perbedaan dalam nama atau cara berpakaian. Semisal saja, orang yang memakai jeans tidak berarti dia seorang kafir dan yang memakai sarung pula seorang Muslim. Tidak demikian.
Perbedaan yang sebenarnya ialah dalam hal ilmu. Orang kafir tidak tahu bagaimana hubungan dirinya dengan Tuhan dan hubungan Tuhan dengan dirinya. Juga bagaimana cara hidup yang mana yang harus dijalaninya - cara yang sesuai dengan kehendak Tuhannya.
Memperoleh karunia terbesar Allah yang patut kita syukuri adalah tergantung seluruhnya pada ilmu. Bila kita tidak punya ilmu untuk itu, kita sama sekali tidak akan memperoleh karunia-Nya. Karena kebodohan, seseorang bisa dibilang bukanlah seorang Muslim.
Hal tersebut dapat diumpamakan dengan orang yang sedang berjalan dalam gelap. Ada kemungkinan ia menyeleweng dari arah yang seharusnya ia tempuh.
Juga besar kemungkinan di tengah perjalanan ia bertemu dengan seseorang yang dapat menyesatkannya. Misal saja ada Dajjal yang akan menawarkan bantuan untuk menuntun orang tersebut sampai tujuan. Karena gelap, tentu ia tidak tahu. Tanpa curiga, ia akan segera menyambar tangan si Dajjal dan terus berpegang kepadanya. Dan ini kesempatan bagi si Dajjal untuk menyesatkannya.
Bahaya di atas sangat mungkin terjadi karena si pejalan kaki tidak memiliki penerangan apapun. Sehingga ia hanya bisa meraba-raba sepanjang jalan dan lantas disesatkan Dajjal.
Cerita mungkin berbeda bila ia membawa penerangan seperti obor. Ia dapat berjalan sendiri tanpa bantuan Dajjal. Ibaratkan obor adalah ilmu, maka pejalan ini mampu melihat jalan Islam yang lurus pada setiap langkah dalam hidupnya. Dapat melihat, menghindari jalan-jalan kufr, syirik, bid’ah dan kehinaan yang menghadang jalannya. Bila di tengah jalan ia bertemu dengan penyesat, ia pasti akan segera sadar bahwa yang ditemuinya itu orang jahat dan tidak boleh diikuti.
Oleh karena itu, kita sebagai Muslim harus serius dan bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu. Bukankah bila kita tidak melakukan hal tersebut, kita akan terancam kehilangan sesuatu yang sangat berharga yakni iman? Bukankah iman lebih berharga daripada hidup? Marilah kita sisihkan sepersepuluh dari waktu yang kita habiskan untuk bekerja dan hal lainnya demi hidup kita, untuk hal-hal yang dapat melindungi iman kita.
Di buku ini, Al- Maududi mengatakan tidak perlu membaca kitab-kitab yang tebal untuk menjadi seorang Muslim. Dan tidak juga menekankan bahwa kita harus menjadi seorang ‘ulama yang membaca kitab tebal dan menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk usaha tersebut.
Tapi, beliau menyarankan bahwa setiap orang harus menyediakan waktu sejam saja dari 24 jam yang ada, untuk mempelajari AL-DIN. Tidak ada batasan umur. Hal ini penting untuk memahami Al-Qur’an dan segala ilmu tentang Islam. Kegiatan ini tidak akan sulit dijalani bagi orang yang merasakan iman lebih berharga dari segalanya.
Sebagai penutup, sekadar mengingatkan bahwa Allah pun menurunkan wahyu pertama-Nya yaitu dengan surat Al-‘Alaq yang memerintahkan kita untuk membaca. Semoga tulisan ini bisa menyadarkan diri kita dan dapat memotivasi untuk terus menuntut ilmu Allah.
Penulis : Siti Hanifah Muslikha
Berhubungan dengan itu, tulisan ini akan membahas tentang pentingnya ilmu bagi seorang Muslim. Pembahasan ini disarikan dari salah satu bab dalam buku "Manhaj Hidup Muslim", karya Abu A’la Al- Maududi. Beliau adalah seorang ‘alim, pemikir Islam kontemporer yang ulung serta pengasas al-Jama’ah al-Islamiyyah di India. Bab ini membahas pentingnya ilmu sebagai dasar kewajiban kita sebagai seorang Muslim. So, yuk kita ulas bersama.
Kita sebagai Muslim seharusnya merasa sangat bersyukur. Kenapa? Karena kita telah memeluk agama yang diridhai Allah dan berada dalam kelompok ummat Nabi Muhammad SAW. Allah sendiri telah menyatakan Islam sebagai karunia-Nya yang terbesar. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an :
"… Pada hari ini, telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu agama bagimu…" (Al-Ma’idah : 3)
Selain itu, memilih hidup sebagai seorang Muslim juga merupakan hidayah terbesar yang Allah berikan. Seseorang tidak disebut Muslim karena orangtua dan keluarganya beragama Islam. Apakah seseorang sudah membawa Islam pada waktu ia dilahirkan? Apakah seorang Muslim terlahir begitu saja sebagai Muslim? Seperti misalnya seorang bangsawan terlahir sebagai bangsawan? TIDAK.
Seseorang tidak bisa disebut Muslim hanya lewat faktor-faktor tersebut. Seseorang tidak disebut Muslim karena ia tergolong dalam suatu kelompok atau bangsa tertentu. Tetapi seseorang dapat dikatakan Muslim apabila ia menerima Islam sebagai agamanya. Pernahkah kalian berfikir demikian?
Kita semua adalah orang yang beruntung telah memutuskan untuk menjadi seorang Muslim. Seperti hal yang kita tahu, Islam bukan agama yang memaksa. Kita sebagai manusia juga memiliki hak untuk memilih. Bisa saja kita dilahirkan dikeluarga yang memeluk Islam tapi kemudian memutuskan untuk melepaskan Islam, dan secara otomatis kita bukan lagi seorang Muslim (Na’udzubillahmindzalik).
Sehingga, kita dapat menyimpulkan bahwa anugerah Allah yang terbesar adalah sebutan sebagai seorang Muslim. Bukan harta yang diwariskan dan juga bukan gelar bangsawan yang melekat dari orangtua.
Menerima Islam
Lalu, apa arti menerima Islam? Arti menerima Islam ialah bahwa seseorang wajib dengan penuh kesadaran dan keikhlasan menerima apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW. Dan bertindak sesuai dengan ajaran tersebut. Barang siapa yang berbuat demikian, maka ia adalah seorang Muslim. Sebaliknya, barang siapa yang tidak berbuat demikian, maka ia bukanlah seorang Muslim.Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa: Islam adalah sebutan terhadap ilmu dan tindakan mempraktikan ilmu tersebut. Seseorang tidak dapat menjadi seorang Muslim tanpa memiliki ilmu, karena Islam tidak diperoleh dari faktor keturunan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Kalau seseorang tidak mengetahui apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW, bagaimana ia bisa mendaku beriman? Dan bila ia menyatakan keimanannya tanpa kesadaran dan pengertian mengenai ajaran tersebut, bagaimana ia dapat menjadi seorang Muslim? Seorang Muslim yang sebenarnya ialah yang tahu apa makna Islam yang sebenarnya dan menyatakan keimanannya kepada Islam dengan penuh kesadaran.
Perbedaan utama antara orang kafir dengan Muslim bukanlah perbedaan dalam nama atau cara berpakaian. Semisal saja, orang yang memakai jeans tidak berarti dia seorang kafir dan yang memakai sarung pula seorang Muslim. Tidak demikian.
Perbedaan yang sebenarnya ialah dalam hal ilmu. Orang kafir tidak tahu bagaimana hubungan dirinya dengan Tuhan dan hubungan Tuhan dengan dirinya. Juga bagaimana cara hidup yang mana yang harus dijalaninya - cara yang sesuai dengan kehendak Tuhannya.
Memperoleh karunia terbesar Allah yang patut kita syukuri adalah tergantung seluruhnya pada ilmu. Bila kita tidak punya ilmu untuk itu, kita sama sekali tidak akan memperoleh karunia-Nya. Karena kebodohan, seseorang bisa dibilang bukanlah seorang Muslim.
Hal tersebut dapat diumpamakan dengan orang yang sedang berjalan dalam gelap. Ada kemungkinan ia menyeleweng dari arah yang seharusnya ia tempuh.
Juga besar kemungkinan di tengah perjalanan ia bertemu dengan seseorang yang dapat menyesatkannya. Misal saja ada Dajjal yang akan menawarkan bantuan untuk menuntun orang tersebut sampai tujuan. Karena gelap, tentu ia tidak tahu. Tanpa curiga, ia akan segera menyambar tangan si Dajjal dan terus berpegang kepadanya. Dan ini kesempatan bagi si Dajjal untuk menyesatkannya.
Bahaya di atas sangat mungkin terjadi karena si pejalan kaki tidak memiliki penerangan apapun. Sehingga ia hanya bisa meraba-raba sepanjang jalan dan lantas disesatkan Dajjal.
Cerita mungkin berbeda bila ia membawa penerangan seperti obor. Ia dapat berjalan sendiri tanpa bantuan Dajjal. Ibaratkan obor adalah ilmu, maka pejalan ini mampu melihat jalan Islam yang lurus pada setiap langkah dalam hidupnya. Dapat melihat, menghindari jalan-jalan kufr, syirik, bid’ah dan kehinaan yang menghadang jalannya. Bila di tengah jalan ia bertemu dengan penyesat, ia pasti akan segera sadar bahwa yang ditemuinya itu orang jahat dan tidak boleh diikuti.
Oleh karena itu, kita sebagai Muslim harus serius dan bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu. Bukankah bila kita tidak melakukan hal tersebut, kita akan terancam kehilangan sesuatu yang sangat berharga yakni iman? Bukankah iman lebih berharga daripada hidup? Marilah kita sisihkan sepersepuluh dari waktu yang kita habiskan untuk bekerja dan hal lainnya demi hidup kita, untuk hal-hal yang dapat melindungi iman kita.
Di buku ini, Al- Maududi mengatakan tidak perlu membaca kitab-kitab yang tebal untuk menjadi seorang Muslim. Dan tidak juga menekankan bahwa kita harus menjadi seorang ‘ulama yang membaca kitab tebal dan menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk usaha tersebut.
Tapi, beliau menyarankan bahwa setiap orang harus menyediakan waktu sejam saja dari 24 jam yang ada, untuk mempelajari AL-DIN. Tidak ada batasan umur. Hal ini penting untuk memahami Al-Qur’an dan segala ilmu tentang Islam. Kegiatan ini tidak akan sulit dijalani bagi orang yang merasakan iman lebih berharga dari segalanya.
Sebagai penutup, sekadar mengingatkan bahwa Allah pun menurunkan wahyu pertama-Nya yaitu dengan surat Al-‘Alaq yang memerintahkan kita untuk membaca. Semoga tulisan ini bisa menyadarkan diri kita dan dapat memotivasi untuk terus menuntut ilmu Allah.
Penulis : Siti Hanifah Muslikha
0 Komentar: