Samudera Kasih Seorang Ayah
Seorang ayah dan anaknya |
"Sebelum ni saya bawa teksi. After my first son was born ada rizki datang dari seorang kawan. He asked me to join his company, with of course higher pay. So I said okay lah," tuturnya menggunakan bahasa Melayu bercampur Inggris.
"So your son now is six years old lah?"
"Yes, he is six years three months old now. Petang tadi dia call saya, tanya boleh balik awal ke tak sebab dia nak ajak pergi pasar malam. Semalam istri saya kata Asyraf (anak lelaki Pak Yusri) sudah selesai menghitung uang raya yang ia dapat dari atok dia, uncle, auntie, semua lah. So, hari ni dia nak belanja saya makan dekat pasar malam," Pak Yusri panjang lebar menceritakan anaknya. Jalanan Kuala Lumpur tengah ramai kendaraan bermotor malam itu, sehingga Pak Yusri memacu mobilnya perlahan saja.
"Sweetnya Asyraf..." jawabku sekenanya.
"Memang dah kebiasaan dalam keluarga kami."
"So Asyraf tak jadi pergi pasar malam lah tadi?"
"Dia tetap pergi dengan Mak dia." sejurus dengan itu Pak Yusri menunjukkan percakapan via whatsapp-nya dengan sang istri kepadaku. Sang istri mengirimkan foto ayam goreng yang dibungkus plastik dan setoples rambutan. Caption-nya terbaca: untuk ayah, dari Asyaf.
Seketika kulihat waktu chat itu masuk, pukul 20.16. Otakku dengan segera merangkai cerita dari kejadian sekitar waktu tersebut: aku memaksa Pak Yusri yang duduk di dalam mobil untuk ikut kami makan malam, tetapi ia dengan halus menolaknya.
"Jadi Bapak tadi tidak mau makan dengan kami sebab mau makan di rumah ya?" tanyaku, simpulan dari otak-atik pikiranku. Yang kutanya hanya menoleh ke arahku sambil tersenyum, tanda mengiyai.
"Saya memang jarang sekali mau diajak tamu saya makan. Setiap kali saya nak makan, terlebih kalau yang akan saya makan itu makanan-makanan mahal, yang saya ingat adalah anak istri saya di rumah. Mereka memang tak tahu pun kalau saya tak cakap. Tapi hati saya memang tak okay lah sebab bila saya makan benda-benda mahal tu, belum tentu saya boleh belikan anak istri saya benda yang sama. Tak kan saya makan mewah-mewah, tapi anak istri saya makan ayam goreng je dekat rumah kan?" Pak Yusri berucap panjang lebar. Aku mengangguk-angguk saja. Mataku terasa panas.
Pak Yusripun melanjutkan, "Jangankan benda-benda mahal, makanan pinggir jalanpun saya akan bungkus, lalu bawa balik, makan sama-sama. Dari Asyraf masih kecil dulu sampai sekarang dia sudah masuk sekolah, tak pernah berubah."
Aku sesekali menganggukkan kepala. Atau menoleh ke arahnya sambil ber-hmm pendek.
"Benda-benda macam ini akan orang kata sweet-lah, comel-lah, but it's more than that tau. Saya percaya benda-benda kecil macam ini pun boleh menjadi bahan pengajaran. Asyraf misalnya, dia tak akan pernah lupa untuk sisihkan apa-apa untuk saya apabila saya tak ada. Dia selalu kata pada Maknya, untuk Ayah. Bukan benda besar mungkin, tapi sangat berarti berarti untuk saya. Allahyarham bapak saya selalu bilang, keberhasilan seorang ayah itu adalah bagaimana ia mendidik anaknya."
Mataku tak terasa basah begitu Pak Yusri menyelesaikan ceritanya. Seketika petuah Buya Hamka dalam buku Cermin Penghidupan berputar-putar dalam benakku.
“Panggilan 'ayah' dari anak-anak, ketika si buruh pulang dari pekerjaannya, adalah ubat duka dari dampratan majikan di kantor. Suara 'ayah' dari anak-anak yang berdiri di pintu, itulah yang menyebabkan telinga menjadi tebal, walaupun gaji kecil. Suara 'ayah' dari anak-anak, itulah urat tunggang dan pucuk bulat bagi peripenghidupan manusia.”
Airmataku terasa semakin deras mengucur begitu mengingat kapan terakhir kali aku memeluk Bapakku. Kapan terakhir kali kudekap erat tubuhnya, kuciumi tangannya. Kapan terakhir kali kupanggil namanya. Kapan terakhir kali kutanya sudahkah ia meminum obatnya. Sementara terkadang berbagai pertanyaannya hanya kujawab seadanya.
Malam itu, lewat Pak Yusri, Allah seolah mengingatkanku betapa banyak hal yang terkadang kuangkap remeh, sebenarnya adalah bentuk cinta tak berbatas Bapak padaku. Malam-malamnya yang ia gunakan untuk mencari nafkah, sementara aku tertidur pulas di atas kasur, adalah caranya menghidupi kami sekeluarga. Baju Lebarannya yang tak pernah ganti, adalah caranya agar anak-anaknya tetap bisa membeli baju baru. Dan ...
Ayah, Bapak, Papah, Abi, Abah, terimakasih atas samudera kasih tanpa batasmu. Kami mungkin tak mengerti caramu menyayangi kami, tapi cintamu begitu nyata kami rasai. Semoga Allah membalasmu.
“Ya Tuhanku, ampunilah aku dan kedua orang tuaku, dan sayangilah keduanya sebagaimana mereka menyayangiku sewaktu aku kecil.”
0 Komentar: