Sikap Pasukan Badar dan Pahlawan Abadi

November 12, 2016 Forum Tarbiyah 0 Komentar

Allah menguji apakah mereka berperang demi tujuan duniawi atau karena iman kepada Allah dan Rasul-Nya?

Sejarah peperangan Rasulullah saw serta semua tokoh yang terlibat sangatlah penting untuk dipelajari, bahkan para sahabat pun sangat serius mengajari anak-anak mereka (generasi tabi’in). Seperti yang diungkapkan oleh cicit Rasulullah, Ali bin Husain Zainal ‘Abidin,” Kami belajar sejarah peperangan Rasulullah seperti kami belajar surat-surat dalam Al Qur’an. Satu diantara banyaknya sejarah yang memiliki pengaruh besar bagi kaum mulimin adalah Perang Badar.

Perang ini juga disebut sebagai Perang Al Furqan karena inilah peperangan yang membedakan yang haq dan bathil, antara iman dan kufr. Inilah perang besar pertama yang dihadapi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat.

Pada awalnya, 313 orang pasukan Muslim berangkat dengan tujuan mencegat kafilah dagang Abu Sufyan yang kembali dari Syam. Kafilah dagang ini membawa keuntungan diantaranya hasil penjualan barang-barang rampasan harta kaum muhajirin yang berhijrah ke Madinah. Tentara muslimin bergerak dengan peralatan perang yang tidak terlalu banyak, Karena mereka bergerak bukan untuk tujuan perang, tetapi untuk mengambil hak dan harta mereka.

Kabar ini sampai kepada kaum musyrikin Makkah, dan mereka mempersiapkan 1000 pasukan untuk menyelamatkan kafilah dagang mereka. Tak tanggung, mayoritas pembesar Quraisy bergabung dalam pasukan ini seperti Abu Jahal, Umayyah bin Khalaf, Utbah bin Rabi’ah. Pasukan ini memang disiapkan untuk bertempur berbeda dengan keadaan tantara muslim yang disiapkan untuk mencegat kafilah dagang Abu Sufyan.

Singkat cerita, kafilah Abu Sufyan lolos dari siasat kaum muslimin, dan tentara musyrikin Quraisy bersikukuh untuk melanjutkan ke medan tempur dengan alasan sangat pongah, menghabisi Islam di medan perang sehingga memberi pengaruh keuntungan sosio-politik yang besar bagi musyrikin Quraisy. Menghadapi kenyataan seperti ini, Rasulullah mengumpulkan para sahabat bermusyawarah mengenai kelanjutan manuver militer ini. Disinilah terjadi “benang merah” pembatas sikap mereka sehingga membuat mereka abadi.

Musyawarah darurat militer ini dilakukan untuk mencari kata sepakat diantara para sahabat. Dalam Al Quran surat Al Anfal ayat 5 juga digambarkan beberapa orang diantara pasukan Badar memang dari awal tidak suka untuk keluar dari Madinah untuk berperang. Allah berfirman,”

كَما أَخْرَجَكَ رَبُّكَ مِنْ بَيْتِكَ بِالْحَقِّ وَإِنَّ فَرِيقاً مِنَ الْمُؤْمِنِينَ لَكارِهُونَ. يُجادِلُونَكَ فِي الْحَقِّ بَعْدَ ما تَبَيَّنَ كَأَنَّما يُساقُونَ إِلَى الْمَوْتِ وَهُمْ يَنْظُرُونَ

“Sebagiamana Tuhanmu menyuruhmu pergi dari rumahmu dengan kebenaran, meskipun sesungguhnya sebagian dari orang-orang beriman itu tidak menyukai. Mereka membantahmu (Muhammad) tentang kebenaran setelah nyata (bahwa mereka pasti menang) seakan-akan mereka dihalau kepada kematian, sedang mereka melihat (sebab kematian itu).”

Dalam kitab Ar Rahiqul Al Makhtum menggambarkan suasana musyawarah darurat militer ini dengan jelas. Setelah Rasulullah menjelaskan keadaan, Beliau melempar pendapat kepada forum, dan Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Al Miqdad bin ‘Amr (semua dari kalangan muhajirin) memberi suara yang sama bahwa pasukan muslim harus menghadapi musyrik Quraisy di medan tempur. Setiap pendapat datang dari kaum muhajirin. Dari 3 representatif muhajirin ini sudah menggambarkan suara konsesus muhajirin, karena keimanan, ta’at dan pengorbanan mereka tidak diragukan lagi. Merekalah yang menemani Rasulullah dalam suka dan duka. Merekalah yang memiliki saham yang luar biasa dalam menyusun batu bata agama ini. Ternyata Rasulullah menunggu suara dari kaum Anshar seraya terus berkata,”Berilah aku pendapat wahai manusia.”

Memang sikap Rasulullah ini sangat beralasan. Sebab dalam bai’at aqabah kedua, tidak ada butir bai’at yang meminta agar kaum anshar siap menolong Rasulullah dalam bentuk perang. Ditambah komposisi kaum anshar di pasukan Badar adalah jumlah mayoritas. Maka suara kaum muhajirin di-pending karena belum mewakili suara mayoritas. Tetapi begitulah sahabat Nabi, mereka punya kontak hati yang kuat dan merasakan getaran ketika Sang Nabi memberi isyarat agar mereka memberi suara.

Tak tanggung, Sa’ad bin Mu’adz, pimpinan kaum Anshar, komandan utama dan pembawa bendera Anshar memberi suara. Tabi’at bangsa Arab, apabila pimpinan kaum memberi suara, maka semua anggota kaum akan patuh dan ta’at kepada pimpinan. Maka Sa’ad bin Mu’adz berkata,” Demi Allah, seakan-akan Engkau menginginkan (pendapat) kami Ya Rasulallah?” Rasulullah menjawab,” Ya Benar.”

Sa’ad bin Mu’adz menjawab,’ Sesungguhnya kami beriman kepadamu, dan kami membenarkanmu, dan kami bersaksi bahwa apa yang Engkau bawa ialah Al Haq dan kami memberimu atas apa yang telah kami janjikan patuh dan ta’at maka majulah Wahai Rasul Allah sesuai keinginanmu Demi Dzat Yang mengutusmu dengan kebenaran, apabila Engkau menyelami lautan dan memerintahkannya kepada kami (untuk menyelami lautan) kami akan ta’ati Engkau dan tidak ada satupun yang menyelisihi perintahmu. Sesungguhnya kami adalah orang yang sabar dalam berperang dan lihai dalam berperang. Semoga Allah memperlihatkan kepadamu dari kami apa yang memuaskan hatimu. Majulah, kami bersamu ‘ala barakatillah...”

Lihatlah kemantapan hati kaum Anshar, kemantapan hati suara mayoritas. Ketika muhajirin dan anshar sudah memiliki gelombang jiwa yang sama, inilah kekuatan yang diinginkan Rasulullah. Bukankah pada awalnya mereka digerakkan karena niat duniawi, demi mengambil hak mereka yang dirampas musyrik Quraisy disebabkan hijrah? 

Tetapi skenario Allah membelokkan semua. Allah ingin menguji apakah sekarang mereka berperang demi tujuan duniawi atau karena iman kepada Allah dan Rasul-Nya serta kepatuhan dan rasa cinta kepada Nabi-Nya? Disaat ujian tersebut, ternyata Pasukan Badar memberi jawaban yang menggambarkan keimanan mereka yang tinggi, kepatuhan dan keta’atan yang tidak diragukan lagi. Sekarang mereka bergerak atas panggilan ukhrawi yang abadi, bukan karena harta yang fana.

Saudara semua...

Percayalah setiap skenario Nya, merupakan sebuah tolak ukur akan tingkat kadar keimanan kita. Apakah kita selalu memenangkan Allah di jadwal harian kita? Apakah kita dengan semangat dan ikhlas menjalankan Sunnah Rasulullah atau kita lebih semangat mengikuti sunnah orang-orang Barat (tren)? Sudahkah kita kembali menjadikan Iman sebagai pedoman dalam bersikap? Kalau belum, maka karakteristik dasar seorang pahlawan belumlah kita miliki. Wallahu A’lam.

Dimana jiwa pasukan Badar Berani
Menoreh nama mulia perkasa abadi
(Generasi Harapan – Izzatul Islam)

Penulis: Kieren Akbar

Allah menguji apakah mereka berperang demi tujuan duniawi atau karena iman kepada Allah dan Rasul-Nya? Sejarah peperangan Rasulullah saw ser...

0 Komentar: