Curhat Seorang Sahabat
“Aku heran deh mbak sama seorang temanku. Akhwat gitu. Dia kalem, cantik, pintar, anggun, ih…pokoknya hampir perfect deh."
"Kok aku bilang hampir?"
"Iya. Soalnya, jujur aja ya mbak, Sikapnya itu lho, bikin malesss. Super duper jutek."
"Kalau sama lawan jenis sih aku santai aja. tapi masalahnya kadang kepada kaum hawa juga gitu. Jutek abisss!"
"Jarang senyum kalau pas ketemu. Sok sibuk lah pokoknya."
"Eh…apa aku berlebihan ya?! Habisnya gak sekali dua kali sih mbak. Sering. Dan beberapa teman perempuan lain juga bilang gitu.
Aku jadi mikir, “Kenapa sih dia kayak gitu? Apa karena jilbabku yang gak selebar dia ya? Atau karena otakku yang ngepas, gak secemerlang dia dalam hal akademik? Atau lagi karena gak seanggun dia? Hehe… maklum mbak, aku emang terkadang rada preman gitu. Tapi tetep manis kok (yeee!)”
"Pernah juga coba chit chat sama dia. Hasilnya, aku mesti buru-buru close the conversation deh sebelum tambah bete aja diri ini."
Cara dia bicara itu… ya ampuun, ketus bin sinis.
Padahal kalau dengan yang lainnya gak gitu-gitu amat.
Mungkin emang dia-nya aja kali ya yang gak suka sama aku. Tapi akhirnya, aku jadi males temenan sama jilbaber.
Mending ke laut aja deh, ngobrol sama ikan. Hehe.”
Sahabat muslimah, kira-kira siapa ya jilbaber yang di maksud tadi? Apakah dia sahabat kita? Tetangga kita? Teman satu kost kita? Atau jangan-jangan malah diri kita sendiri? Oo…
Astaghfirullah.
Isu muslimah eksklusif rasanya memang bisa dibilang peka zaman. Gak habis-habisnya jadi headline tahunan. Hal ini mungkin disebabkan oleh keinginan muslimah sendiri untuk kaffah dalam menjalankan islam. Dan salah satunya adalah jaiz, jaga izzah.
Muslimah memang sering merasa gak perlu berbasa-basi untuk urusan yang dianggap tidak penting. Terlebih lagi kepada lawan jenis. Toh memang tidak ada yang perlu dikomunikasikan sama cowok-cowok yang nongkrong di pos ronda atau di pinggir jalan. Karena itulah muslimah terkesan jutek, gak ramah.
Sebenarnya sama sekali tidak salah ketika kita beranggapan bahwa sikap itu perlu dijaga. Tapi kenapa pula harus pasang tampang besi ke sesama muslimah? Justru terasa aneh, kenapa kita tidak bisa ramah kepada kaum kita sendiri.
Benarkah kita juga tidak perlu ramah tamah kepada mereka, dengan alasan yang sama, toh gak ada yang perlu dibicarain?
Berbicara ketika perlu, itu memang bagus. Bahkan Rasulullah sendiri pernah berpesan, lebih baik diam daripada berkata yang sia-sia. Tapi itu bukan berarti mesti kaku dalam bersikap, kan?
Tersenyum ketika berpapasan dengan muslimah lain di jalan, memberi salam, bertanya kabar, sekedar menyapa: “Mau kemana?”, “Baru selesai kelas ya?”
Atau sekedar mengangguk sedikit ketika lewat di depan mereka, bukan sesuatu yang melanggar hukum, kan? “Janganlah engkau meremehkan kebaikan sekecil apapun, meski hanya engkau temui saudaramu dengan wajah ceria” (HR. Muslim). Tuuh…
“Mereka tuh ramahnya cuma ke sesama jilbaber aja, mbak. Kita-kita mah lewat”
Duuh, Kenapa sih? bukankah semua orang adalah obyek dakwah yang bisa kita ajak kepada kebaikan? Kenapa harus ada diskriminasi? Tau gak, kesannya tuh jadi sombong banget, berbuat kebaikan kok pilih-pilih.
Ingat lho sahabat. Berbuat baik kepada orang lain, atau dalam hal ini bersikap ramah, tidak menutup kemungkinan dampaknya juga bisa kembali kepada diri kita sendiri. Siapa tahu di suatu hari nanti, ketika kita memerlukan pertolongan, dia yang akan pertama kali turun tangan membantu. Dan siapa tahu lagi, orang itu nanti malah jadi Bos di tempat kita ngelamar kerja. Oh My God banget kan?
Dari curhat di atas, mungkin kita juga jadi berfikir, si jilbaber memang memiliki sedikit perasaan ‘ganjil’ kepada teman kita tadi. Maklum, No man in an island. Kita hidup gak sendirian. Milyaran manusia yang pernah hadir atau sedang hadir bahkan juga kelak hadir di muka bumi ini, sama sekali tidak ada yang pernah sama antara satu dengan yang lainnya. Jadi bayangkan, betapa warna-warninya kehidupan ini dengan aneka karakter yang dimiliki masing-masing orang. Ada yang sabar, pendiam, cerewet, cepat naik pitam, ada yang bawaannya grasa- grusu, dsb. Maka tidak heran, gesekan-gesekan pun sering terjadi.
Di antara semua, ada sebagian orang yang ketika dia berhadapan dengan orang yang tidak disukai, masih bisa mengendalikan sikapnya sehingga masih bisa tersenyum. Namun tidak dipungkiri juga ada yang lepas kontrol.
“Kalau aku gak suka sama dia, ya udah gak suka. Titik! Buat apa mesti ditutupin segala. Lagian biar dia tuh sadar”.
Duh, bayangin deh sodari, gimana kalau semua orang di dunia berfikiran begini. Alamat perang dunia akan terus bersambung gak ada habis-habisnya.
Namun Alhamdulillah, Islam hadir untuk memberi solusi. Mari sejenak kita menyibak kembali kisah teladan dalam rumah tangga Nabi junjungan kita. Kita tahu bahwa ‘Aisyah r.a adalah istri yang paling dekat di hati Rasulullah daripada istri-istri yang lainnya. Namun, beliau bukan pemenang tunggal rupanya. Ada Zainab binti Jahsyi yang menjadi saingan dengan segala kelebihan yang dimilikinya. Beliau dikenal sebagai orang yang paling gemar dan banyak bersedekah. Sudah tentu keduanya saling cemburu. Dan sebagai manusia, bisa dimengerti jikalau diantara keduanya terjadi persaingan.
Tapi lihatlah. Persaingan mereka bukan saling menjatuhkan. Ketika ‘Aisyah ditanya tentang Zainab, dia berkata; “Dialah wanita yang kedudukannya menyaingi kedudukanku di sisi Rasulullah. Dan aku tidak pernah melihat seorang wanita pun yang lebih baik agamanya dari Zainab, lebih bertakwa, lebih jujur perkataannya, lebih senang menyambung tali silaturrahim, lebih besar sedekahnya serta lebih banyak berkorban bagi dirinya dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Meskipun dia seorang yang cepat marah, namun dia cepat kembali reda dari kemarahan.”
Lalu bagaimana dengan Zainab?
Rasulullah pernah bertanya perihal ‘Aisyah kepadanya. Dan jawabannya, “… Demi Allah, aku tidak mengetahui tentang diri ‘Aisyah melainkan kebaikan”. Rasa tidak suka itu mungkin memang ada. Tapi lihatlah bagaimana mereka menyikapinya. Begitu bijak bukan?!
Pilihan selalu tersedia, namun Iman dan Islam-lah yang membuat sikap yang keluar berbeda. Maka dari itu, mari berusaha untuk tetap ramah kepada orang yang sekiranya tidak begitu kita sukai.
Munafik? Tentu saja bukan. Munafik itu kan kalau berbicara dia bohong, kalau berjanji dia mengingkari dan kalau dipercaya berkhianat. Beramah tamah dengan orang yang tidak kita suka tentunya gak termasuk dong. Kecuali kalau kita bilang, “Aku sudah deh sama kamu”
Nah, itu baru munafik. Kan bohong tuh.
At the end, memang sih tidak mudah mengubah sikap ini. Tapi, bukan berarti tidak mungkin kan? Muslimah gitu loh. Ishlah, Pasti bisa!
Penulis: Ratih Febrian
Maraji’ : Al Hasyimy, M. A (1997). Jati diri wanita muslimah. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar
0 Komentar: