Sungguh, Janji Allah itu Benar Adanya…

March 21, 2011 Forum Tarbiyah 0 Komentar

Krek…krek…krek...dummm..krek.. Sepeda tua jaman Belanda itu seolah-olah merintih dan meminta pensiun kepada si empunya. Namun, perlahan ia malu melihat semangat dan kegigihan sang tuan yang nampak dari tetesan-tetesan air keikhlasan yang mengucur di sekujur tubuhnya. Ya..itulah Cak Malik, begitu ia disapa dalam kesehariannya, bapak dari dua orang anak, yang tak pernah berhenti berazam dan berharap.

Sungai Brantas yang selalu menyapanya ramah di tiap fajar dengan debur alir yang menggelora adalah saksi kesungguhannya dalam mencapai segala asa yang telah terdesain rapi dalam setiap sel fikirannya. Gayung demi gayung, ia pun berhasil menguras separoh lusin perahu yang biasanya masih penuh dengan genangan air. Perahu-perahu kecil itu memang disiapkan untuk menambang pasir, bahan bangunan yang begitu penting dan berjasa, memberikan perlindungan bagi manusia.

Sungguh, tak ada beban yang nampak dari guratan wajahnya, meski ia harus menyelesaikan semua itu sebelum fajar tiba dan hanya sapaan ayam jantan yang menemani. Ya..itulah aktivitas laki-laki yang kini usianya hampir mendekati usia Rasulullah saat dipanggil Sang Khalik ini, sejak ia dikaruniani putri pertamanya, 23 tahun silam.

“Alhamdulillah…Bu’e ini uang belanja hari ini..semoga cukup ya…”, begitulah cara ia menghibur sang istri tercinta sejak lebih dari seperempat abad. Meski dengan berat hati dan rasa kecewa yang terus menghantui, sang istri pun berusaha menerima hasil jerih payah suaminya. Ia tau, lembaran kertas Rupiah bernilai dua puluh ribu itu sangatlah berarti, dan itu adalah buah keikhlasan suami tercinta.

Yuk Kasri, wanita berkulit langsat, yang telah dinikahi Cak Malik sesaat setelah ia mengenyam beberapa bulan di Madrasah Tsanawiyah ini, tak pernah menyesal menjalani hari-hari dengan penuh kesederhanaan.

Meskipun tinggal berdampingan dengan orang tuanya, Yuk Kasri tak pernah berkeluh kesah atas kondisi keuangan keluarga. Ia yakin Allah telah mencukupkan rizki untuknya melalui sang suami yang meski masih tak memiliki pekerjaan tetap. “Ya..mungkin ini adalah cara Allah menunjukkan kasih sayang-Nya. Jika saja saya dikaruniai rizki berlebih, mungkin justru akan lupa untuk mensyukuri setiap nikmat-Nya”, begitu jelasnya.

Subhanallah….keikhlasan seorang istri adalah obat mujarab penghilang lelah sang suami dan penyemangat jiwa yang tengah kehilangan asa. Meskipun demikian, ia pun tak hanya berdiam diri dan menengadahkan tangan pada sang suami. Dengan berbekal kemampuan memasak yang diperolehnya dari pelatihan PKK, Yuk Kasri membuka warung kecil di beranda rumah yang alhamdulillah saat itu, di tahun 1992, rumah yang sebelumnya terbuat dari bambu yang mulai reot telah berubah menjadi rumah permanen yang lebih layak.

Bisnis rujak uleg yang ditekuni Yuk Kasri sejak putri pertamanya berusia tiga tahun itu cukup dikenal hingga ke beberapa kampung. Tak heran jika ia mampu menyokong ekonomi keluarga yang pas-pasan hingga berhasil mengantarkan putri pertamanya duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama.

Cak Malik selaku kepada keluarga begitu sayang dan bangga kepada sang istri. Ia pun tak ragu membantu sang istri, meskipun banyak tetangga sesama kepala keluarga yang mencaci. Tak sedikit orang yang menghardik Cak Malik itu banci dan tidak punya harga diri karena mengerjakan pekerjaan yang selayaknya dikerjakan istri, yakni mulai dari memasak hingga mencuci popok anaknya. Terlebih, bisnis bakso Cak Malik yang digelarnya di depan area Sekolah Dasar (SD) semakin merugi.

Cercaan dan hinaan yang silih berganti itu, tak membuat Cak Malik berkecil hati. Ia terus mencoba berbagai usaha untuk menjalankan tanggung jawabnya sebagai seorang suami dan ayah bagi kedua putrinya. Lebih dari itu, ia pun tak melupakan tanggung jawabnya sebagai seorang ahli ilmu.

Ia mengajari sang istri untuk selalu solat dan mengingat Allah, kapanpun, dan dimanapun ia berada. “Jika ada rizki berlebih, sisihkanlah untuk berzakat dan berderma. Jangan lupa ikut kumpulan Yasinan ibu-ibu di kampung. Jika ternyata rizkinya masih berlebih pula, maka ikutlah ziarah wali. Ya….meskipun kita tidak bisa ziarah ke makam Rasulullah, paling tidak kita ziarah ke makam para ulama yang babad alas pulau Jawa ini” jelas Cak Malik ke istrinya.

Dakwah Cak Malik tidak hanya terhenti di kalangan keluarga. Berawal dari keahliannya menyampaikan ayat-ayat Allah dengan cara yang hikmah, Cak Malik berhasil membuat satu kelompok pengajian rutin di kalangan sesama penguras dan penambang pasir. Ia tak suka banyak bicara, namun ia dengan pasti memberikan contoh-contoh tauladan dari sikap hidupnya yang sangat sederhana.

Ia, dengan segala keterbatasannya, terlebih setelah kecelakan di area penambangan pasir, yang mengharuskan ia dioperasi karena satu daun telinganya copot terhantam pintu truk, terus berdakwah dan menyampaikan ayat-ayat kauliyah-Nya. Setiap selesai menjalankan amanahnya sebagai penguras kapal, ia menyempatkan diri untuk menanam beragam tanaman pokok seperti padi, kacang tanah, kedelai, bawang merah dan beragam sayur mayur di lahan kosong dekat sungai tempat ia biasa bekerja. Alhamdulillah, hampir setiap masa panen tiba, ia bisa membawa hasil bumi tersebut kepada sang istri, meski harus menempuh empat kilometer dengan sepeda ringkihnya.

Satu hal lagi yang membuat laki-laki paruh baya ini begitu istimewa. Ditengah keterbatasan hidupnya, ia selalu membagikan separoh hasil bumi kepada adik-adiknya dan para tetangga yang lebih tidak mampu. Ya..separoh hasil keringatnya dibaktikan kepada janda-janda tua dan para fakir. Bisa dibayangkan, dengan hanya memberikan maisyah Rp 20.000,- per hari, kini ia pun dengan “seenaknya” berderma kepada orang lain. Terang saja tindakannya itu mendapat protes dan kecaman keras dari sang istri dan anak pertamanya yang sudah beranjak remaja.

Izzah, putri sulung pasangan yang sangat bersahaja itu, kini telah sampai di Sekolah Menengah Atas (SMA). Ia tumbuh menjadi remaja yang begitu aktif dan kritis dalam menyikapi segala sesuatu yang bertentangan dengan akal dan logikanya. Ia tak pernah berhenti mengomentari tindakan orang tuanya, terlebih kepada sang Bapak, yang menurutnya banyak hal yang tidak masuk akal.

Bapak yang hingga kini hanya bisa mengayuh sepeda udiknya, tidak bisa membantu sang Ibu yang kini beralih profesi sebagai tukang sayur keliling dengan sepeda Yamaha tahun 80-an milik sang kakek. Bapak yang seperti orang yang paling sibuk di dunia ini, pergi sebelum fajar menyingsing dan pulang sebelum sang mega terbenam di ufuk barat, namun hanya memberikan selembar uang dua puluh ribu rupiah dan beberapa koin lima ratus perak. Terlebih, ketika banyak tamu yang katanya adalah murid-murid ngajinya itu datang ke rumah dan sang Ibu selalu menghidangkan minuman sebagai penghormatan kepada tamu, hingga anggaran untuk gula dan teh meningkat setiap bulannya.

“Ah..dasar Bapak yang tidak bertanggung jawab!!”, protes si sulung. Si bungsu yang saat itu masih duduk di SD, yang masih belum tau apa-apa pun ia provokasi untuk membenci sang Bapak. Melihat kondisi yang seperti itu, Cak Malik hanya tersenyum dan dengan sabar ia menjelaskan “Apa sih yang sebenarnya kita cari di dunia ini, selain ridho Allah...Janganlah pernah meragukan janji Allah yang telah pasti keberadaannya. Sungguh, Allah telah membagikan rizki-Nya kepada setiap makhluk dengan seadil-adilnya. Mungkin rizki keluarga ini bukan berasal dari kreativitas tanganku, terlebih aku telah tak henti-hentinya berjuang. Lantas apa yang bisa aku banggakan, selain membuat orang-orang yang jauh lebih sengsara itu tersenyum dan menyampaikan ilmu yang telah ku pelajari?”. Wah..., saat itu, sang sulung semakin bingung, “Ya Rabb…manakah yang benar?”, keluhnya.

Jika dilihat dari kacamata dunia, keluarga Cak Malik termasuk kurang beruntung, karena dari ketujuh saudaranya, hanya dia yang masih berprofesi sebagai penguras kapal hingga sekarang. Selain itu, dari ketiga saudara Yuk Kasri, hanya dia yang hingga saat ini berprofesi sebagai penjual sayur keliling. Namun demikian, Cak Malik dan Yuk Kasri adalah hamba-hamba Allah yang mungkin keberadaannya jauh lebih terhormat di mata Sang Maha Pencipta. Keikhlasan mereka menjalani garis takdir yang telah tertulis di Lauhul Makhfudz membuat mereka nyaman dan jauh dari rasa gelisah hubbud dunnya.

Cak Malik yang sarat akan ilmu agama dengan begitu ikhlas membagikan ilmu secara percuma kepada siapapun yang berguru kepadanya. Bahkan, tidak sedikit murid-muridnya yang berlatar belakang guru, pejabat pemerintahan daerah dan bahkan ustad-ustad yang mengelola pondok pesantren. Cak Malik tak pernah sekalipun menagih bayaran kepada mereka, bahkan ia menolak jika ada muridnya yang memberi hadiah secara berlebih. Jika sang murid bersih keras memberikan hadiah berlebih kepadanya, maka Cak Malik hanya meminta dibangunkan surau kecil di beberapa desa yang masih terpencil di Kecamatan Kemlagi. Alhasil, telah ada dua surau berdiri di dua pelosok kecamatan. Subhanallah..ternyata masih ada ulama yang sebegitu zuhud-nya seperti Cak Malik di dunia ini.

Keinginannya menginjakkan kaki di Baitul Mekkah al Mukarrom ia sisipkan dalam relung hatinya yang paling dalam. Ia simpan rapat-rapat hingga ia tak lagi memikirkannya. Namun, sepandai-pandai ia mengubur azam itu, tetap nampak dalam linangan air matanya saat memimpin doa untuk adik Yuk Kasri yang berangkat haji di tahun 2002 lalu. Air mata tanda keinginan yang menghujam dan niat yang tulus untuk bermunajat kepada Allah semata di tanah suci. Sorban hijau, buah tangan dari tanah kelahiran Rasulullah yang didapat dari adik Yuk Kasri, seorang yang sangat bersahaja, yang dengan ringan tangan dan ikhlas membantu biaya sekolah si sulung hingga menempuh pendidikan tinggi, selalu ia gunakan untuk bersujud. Ya….itulah sujud ikhlas dari seorang Cak Malik yang tak pernah terhenti dan selalu istikhomah di setiap malam-malamnya.

Ia hanya berharap, jika ia tidak bisa mencurahkan segala asa dan cintanya kepada Allah di tanah suci, maka kedua putrinya lah yang akan melaksanakan pilar Islam yang ke-lima itu. Sungguh, azam ini adalah sama ketika dia bertekad untuk menjadikan salah satu anaknya sebagai tenaga pengajar di perguruan tinggi. Menurutnya, dosen adalah suatu pekerjaan yang sangat mulia, yang di tangannyalah generasi-generasi penerus bangsa ini berada. Selain itu, sebenarnya, dari hati yang paling dalam, ia amat bercita-cita menjadi seorang guru. Namun, apa daya cita-citanya telah pupus saat ia tak mampu membayar uang sekolah, hingga ijasah SPGA (Sekolah Pendidikan Guru Agama)-nya tertahan di pihak sekolah. Namun demikian, ini begitu politis, hingga kini, ijasah itu tak tau keberadaannya. Yang jelas, Cak Malik pernah menemukan namanya masuk daftar list calon anggota legislative di salah satu kabupaten. Sungguh ironis!!!

Kini, di tengah kondisinya yang tak banyak berubah, ia dan tentunya dengan sang istri, telah mampu membekali kedua putrinya dengan ilmu yang bermanfaat. Maka benar adanya, bahwa hanya dengan ilmu yang bermanfaat, seseorang bisa mengaruhi kehidupan. Kini, jika azam Cak Malik terhadap putrinya itu nyaris tersampai, maka kenapa tidak, jika cita-citanya untuk berkhalwat dengan Sang Maha Tinggi di kota suci juga terealisasi.

Janji Allah itu pasti adanya...itulah kalimat yang selalu menguatkan batin Cak Malik. Doa Cak Malik yang begitu ikhlas dan menghujam akhirnya mampu mengantarkan anak yang dulu ketika ia pertama kali sekolah, selalu ia hantar dengan sepeda udiknya, menempuh gelar Master di negeri orang.

Subhanallah...semoga kita bisa mengambil ibrah dari cerita ini.

Allahu’alam

Penulis: Shochrul Rohma

Krek…krek…krek...dummm..krek.. Sepeda tua jaman Belanda itu seolah-olah merintih dan meminta pensiun kepada si empunya. Namun, perlahan ia m...

0 Komentar: