Saat Buku Rio Terjatuh
Chaca tak mau berlarut-larut membaca coretan-coretan hati Rio, kemudian dia membalik halaman berikutnya, dan sampai pada halaman 18 dengan sub judul “Jika anda tidak mentarbiyah diri anda sendiri, siapa yang akan membina anda?"
Udara malam itu dingin sekali, karena memang sejak sore tadi hujan tak kunjung reda. tak sanggup pakaian tebal yang terbuat dari bulu domba itu menangkis hawa dingin yang menusuk tulang.
Chaca, nama aslinya adalah Salsabila -salah satu nama mata air disurga- namun sejak kecil terbiasa dipanggil begitu oleh kerabat, karib, dan sahabatnya. Ia mahasiswi jebolan universitas terbaik di Jakarta dan “primadona” yang sangat aktif di kegiatan kemahasiswaan. Pagi ini ia sesekali membuka jendela kamar tidurnya, untuk melihat keadaan diluar sana, apakah hujan masih lebat atau sudah reda. Tetapi setiap kali Chaca membuka jendela, seketika itu pula angin berhembus kencang bersamaan dengan percikan air menerpa wajahnya.
Padahal malam itu Chaca harus kerumah temannya, Vita yang jaraknya tidak berapa jauh dari rumahnya. Chaca akan meminjamkan buku “Tarbiyah Dzatiyah” kepada Vita. Namun lebatnya hujan cukup menjadi pertimbangan bagi Chaca untuk keluar rumah, apalagi adiknya Rika -yang sering menemaninya kalau dia ingin keluar- sedang tidak dirumah karena sedang dinas dirumah sakit “Ceria Hati”.
Menurut Chaca Buku itu sangat bagus dan menarik untuk dibaca, apalagi untuk mengisi waktu liburan. Buku itu dia pinjam dari Rio sebulan yang lalu, seorang ikhwan yang kebetulan teman sekelasnya.
Ceritanya…
Sebulan yang lalu, disaat jam pelajaran berlangsung –ketika itu Posisi duduk Rio bersebelahan dengan Chaca namun jaraknya agak berjauhan- buku itu terjatuh pas disebelah kursi Chaca. Awalnya Chaca ragu-ragu untuk mengambil, tetapi setelah melihat judul buku itu diapun khawatir jangan-jangan ada ayat-ayat al-Qur’an didalamnya, diapun mengambilnya.
Rio pun menyempatkan diri menoleh kearah Chaca dengan sekali tolehan dan tersenyum seakan-akan meng-isyaratkan, pegang saja dulu buku itu. lalu kemudian dia konsentrasi lagi mendengar penjelasan dosen yang ketika itu menjelaskan tentang “Hakikat Hati”.
Rio sepertinya serius sekali dan konsentrasi penuh mendengarkan pelajaran, demikian juga dengan Chaca, tatapan mereka tertuju kedepan. Namun seorang Guru mampu membedakan mana yang konsentrasi dan mana yang sedang berimajinasi.
Ceritanya…
Sebulan yang lalu, disaat jam pelajaran berlangsung –ketika itu Posisi duduk Rio bersebelahan dengan Chaca namun jaraknya agak berjauhan- buku itu terjatuh pas disebelah kursi Chaca. Awalnya Chaca ragu-ragu untuk mengambil, tetapi setelah melihat judul buku itu diapun khawatir jangan-jangan ada ayat-ayat al-Qur’an didalamnya, diapun mengambilnya.
Rio pun menyempatkan diri menoleh kearah Chaca dengan sekali tolehan dan tersenyum seakan-akan meng-isyaratkan, pegang saja dulu buku itu. lalu kemudian dia konsentrasi lagi mendengar penjelasan dosen yang ketika itu menjelaskan tentang “Hakikat Hati”.
Rio sepertinya serius sekali dan konsentrasi penuh mendengarkan pelajaran, demikian juga dengan Chaca, tatapan mereka tertuju kedepan. Namun seorang Guru mampu membedakan mana yang konsentrasi dan mana yang sedang berimajinasi.
"Rio…Rio…” seru bu Dosen.
"a..aa..da apa bu” Jawab Rio.
"Kamu melamun ya…???
"Ma…aaf bu..” jawab Rio, takut bercampur malu.
Ternyata pristiwa jatuhnya buku tadi sangat membekas dihati Rio, apalagi buku itu masih dipegang oleh Chaca. Dan kelihatannya Chaca juga sedang membaca ulasan buku yang ada dicover bagian belakang buku itu. Disitu juga ada coretan-coretan Rio yang tidak begitu jelas yang bertuliskan “jika sudah waktunya, dia pasti datang”.
Jam belajar sudah habis, dan dosenpun menutup kelas dengan mengucapkan salam. Mahasiswapun keluar semua. Pas didepan pintu kelas….
“Afwan akhi Rio…ini bukunya,” seru Chaca yang ketika itu ditemani oleh temannya.
“Ya… syukron ukhti, afwan merepotkan…” jawab Rio.
Dalam hati Rio, dia berharap agar kejadian itu terulang kembali, tapi cepat-cepat dia mengucap astaghfirullah.
“Oh ya akhi… sepertinya buku itu bagus!” ucap Chaca datar dan perkataan itu tidak bermaksud untuk memperpanjang kebersamaan.
“Iii..iya bagus” jawab Rio yang ketika itu keGR-an. Kalau ukhti berminat silahkan aja dipinjam” ujarnya lagi dalam keadaan detak jantung tak normal.
“Syukron akhi, tapi kapan ana harus mengembalikannya? Tanya Chaca.
“Kapan-kapan aja, kebetulan ana sudah menamatkannya berkali-kali” Rio sambil mengulurkan buku itu ke Chaca, ia mencoba mengkondisikan jiwa dan raganya dan matanyapun ia coba alihkan ke lain arah jangan sampai panah setan menembus kehatinya.
“Sekali lagi syukron, akhi” ucap Chaca. Merekapun berpisah…
Sesampainya dirumah setelah menunaikan sholat zuhur, makan siang dan istirahat, Chaca mengulang pelajarannya. Malam setelah Isya baru Chaca membaca buku dari Rio.
Chaca mengambil buku itu dari tasnya, kemudian melihat halaman depan buku yang berwarna kuning tua dengan judul “TARBIYAH DZATIYAH” karangan Abdullah bin Abdul Aziz al-Aidan penerbit An-Nadwah.
Dihalaman depan buku itu juga ada gambar dua orang pemuda yang sedang memanjat tangga, mungkin penulis buku itu mengilustrasikan tentang menggapai impian dan cita-cita.
“Dia antara dua pemuda itu, Rio yang mana ya” ucap Chaca dalam hati, tapi cepat-cepat Chaca membuang ilustrasi itu dengan beristighfar, jangan sampai buku yang penuh dengan hikmah itu menjadi sarana yang mengantarkan kepada kemaksiatan.
Kemudian Chaca membaca cover buku bagian belakang, walupun dia sudah membacanya sekilas sewaktu dikelas tadi. Dia membaca dengan suara yang perlahan dan menjiwai:
“Saudaraku, kenapa para sahabat Rasulullah saw mampu tampil menjadi figur-figur hebat, dengan ciri khas dan kelebihannya masing-masing? Padahal guru mereka sama, yaitu Rasulullah saw dan Islam yang diajarkan kepada mereka juga satu?
Barangkali, diantara rahasianya ialah karena masing-masing dari mereka mampu mentarbiyah (membina) diri sendiri dengan optimal, meningkatkan kualitas diri menuju tingkatan seideal mungkin, mengadakan perbaikan diri secara konsisten dan kontinyu, serta mengembangkan semua potensi mereka hingga tidak ada satupun potensi mereka yang terabaikan” –inilah yang dinamakan TARBIYAH DZATIYAH.
Chaca mencoba merenungkan dan meresapi tiap untaian kata-kata itu lalu kemudian merenungkannya. Kemudian Chaca membuka halaman pertama buku itu, lagi-lagi ada coretan Rio dengan tinta biru yang bertuliskan:
“Engkaulah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya, Engkau mengetahui apa yang nyata dan yang tersembunyi. Engkau tahu gejolak hati dan jiwa ini dan hanya Engkaulah yang tahu obatnya.” ( -Rio 2011 -mungkinkah-)
Chaca tak mau berlarut-larut dengan membaca coretan-coretan hati Rio, kemudian dia membalik halaman berikutnya, dan sampai pada halaman 18 dengan sub judul“Jika anda tidak mentarbiyah (membina) diri anda sendiri, siapa yang akan membina anda?: Chaca melanjutkan bacaannya dengan perasaan dan perlahan:
“Siapa yang mentarbiyah (membina) seseorang saat ia berusia lima belas tahun, atau dua puluh tahun, atau tiga puluh tahun atau lebih?. Jika ia tidak membina dirinya sendiri, siapa yang akan membinanya? Sebab, kedua orangtuanya secara khusus, atau manusia secara umum berkeyakinan bahwa ia sudah dewasa, lebih tahu apa yang mendatangkan maslahat bagi dirinya. Atau mereka (orang tua dan manusia lainnya) sibuk dengan pekerjaan mereka, hingga tidak punya waktu untuk mengurusinya.
Walhasil, jika ia tidak membina diri sendiri, ia kehilangan waktu-waktu ketaatan dan moment-moment kebaikan, hari dan umur terus bergulir, sedang ia gagal mengetahui titik lemah dirinya dan ketidakberesannya. Akibatnya, ia rugi saat kematian menjemput. Allah swt berfirman yang artinya “(Ingatlah) hari Allah mengumpulkan kalian pada hari Pengumpulan (kiamat) {at-Taghabun:9}
Tanpa disadari airmata Chaca menetes, karena mengenang keadaan dirinya yang jauh dari kedua orang tua apalagi dia hanya tinggal berdua bersama adiknya dinegeri orang lain, sesekali Chaca memikirkan adiknya Rika yang sedang dinas di Rumah Sakit dan sering pulang malam. “Ya Allah jagalah adik hamba Rika” do’anya dalam hati.
Halaman demi halaman buku Chaca lewati, tanpa disadari matanya terlelap dan tertidur, karena memang jam sudah menunjukkan pukul 11.30 malam. Sementara Rika sudah mengirim pesan kalau dia tidak pulang karena dinas sampai pagi,
Begitulah kenang Chaca sebulan yang lalu, mengapa sampai buku Tarbiyah Dzatiyah itu sampai ditangannya.
Hujan malampun reda, Chaca mencoba menghubungi Vita. Buku itu harus diserahkan malam itu juga karena besok pagi Vita akan pulang ke Kalimantan dengan pesawat “Air Tarbiyah Boeing 737’”.
Bagi Chaca, Vita adalah teman baiknya, dan kebetulan mereka satu group halaqoh, Chaca tidak ingin kehilangan teman sejatinya. Chaca berharap mudah-mudahan buku TARBIYAH DZATIYAH itu mampu memberikan semangat kepada Vita yang libur selama tiga minggu dan tidak mengikuti halaqoh (mentoring).
Sebelum Chaca menekan nomor Hp Vita, tiba-tiba ada SMS yang masuk. “Afwan ya Chaca kita ketemu besok aja ya, karena kebetulan pesawatnya ditunda keberangkatannya pukul 1.00 siang”. -bunyi sms Vita-
“Oke Vita, sabar ya…enggak apa-apa sedikit terlambat, yang penting sampai ketujuan” balas Chaca mencoba menghibur Vita yang tidak sabar menginjakkan kakinya di kampung halaman.
Hujanpun berhenti, langit malampun menjadi cerah dipenuhi dengan bintang yang gemerlap, pohon-pohon yang tadinya hampir tumbang karena diterpa angin kini kembali berdiri. Malam menjadi begitu hening, Chaca pun diselimuti rasa kantuk yang teramat sangat dan pergi kebelakang untuk berwudhu sebelum dia tidur.
Kutulis untuk menghibur diri yang tertinggal ditengah duyunan kepulangan teman kekampung halaman. (Ali Rakhman)
Additional Information:
Buku anjuran untuk menemani liburan: TARBIYAH DZATIYAH karangan Abdullah bin Abdul Aziz al Aidan penerbit An-Nadwah.
0 Komentar: