Islam dan Barat: Benci atau Rindu?
Tragedi 11 September 2001 menjadi legitimasi AS dalam melakukan perburuan terhadap tokoh-tokoh jaringan al-Qaidah yang dituduh berada dibelakang serangan terhadap WTC dan pentagon dan serangkaian serangan bom yang terjadi di beberapa negara Eropa dan Asia dalam 10 tahun terakhir. Meskipun beberapa kali dibantah oleh pejabat Gedung Putih, proyek terorisme dianggap sebagian kalangan sebagai bagian dari kampanye untuk melawan Islam sebagai representasi musuh baru AS paska tumbangnya Uni Soviet.
Kabar tewasnya Osama bin Laden pada Ahad malam (1/5) di Pakistan bagian Utara seolah menjadi symbol kemenangan AS dalam memerangi terorisme global. Sontak saja, sebagian masyarakat Amerika tumpah ke jalan ikut bersuka cita atas kematian teroris paling diburuh oleh Amerika tersebut.
Proyek terorisme yang menjadi salah satu agenda utama kebijakan luar negeri AS banyak merugikan negara-negara berpenduduk Muslim dan umat Islam secara keseluruhan. Pendudukan pasukan militer AS di Iraq, Afghanistan sampai ke Libya, pemaksaan undang-undang terorisme di negara-negara Muslim untuk menekan dan menangkap para tokoh Islam yang dianggap terlibat aktivitas terorisme, terbentuknya citra Islam sebagai agama yang tidak bisa hidup berdampingan dengan agama lain, munculnya Islamophobia di kalangan masyarakat Barat yang kemudian memunculkan sikap diskriminatif terhadap umat Muslim, pelarangan pemakaian jilbab di tempat umum, pelarangan pendidrian mesjid dan bahkan pembuatan film kartun Nabi Muhammad yang digambarkan sebagai seorang Nabi penyebar ajaran terorisme yang kemudian mendapat kecaman umat Islam sedunia. Inilah hasil kebijakan politik proyek terorisme AS terhadap umat Islam.
Namun ada fenomena menarik yang muncul di tengah kampanye AS untuk memusuhi Islam secara tidak langsung yang justru muncul dan berkembang di negara-negara Barat itu sendiri. Setidaknya ada tiga hal:
Pertama: Pertumbuhan umat Islam yang cukup fantastik di negara Amerika dan Eropa. Dalam studi yang berjudul “Memetakan Populasi Muslim Global: Sebuah Laporan Tentang Jumlah dan Distrubusi Populasi Muslim di Dunia”, Pew Research Centre menyimpulkan bahwa agama Islam adalah agama yang mengalami pertumbuhan paling pesat di Amerika dan Eropa. Dalam 30 tahun terakhir, jumlah umat Muslim dunia meningkat sekitar 300 persen menjadi 1,57 miliar jiwa. Artinya, satu dari empat penduduk dunia adalah seorang Muslim. Dari populasi Muslim tersebut, ada sekitar 300 juta jiwa tinggal di negara-negara non-Muslim.
Jumlah umat Muslim di Eropa menurut penelitian tesebut terdapat sekitar 38 juta, sekitar 5 persen dari total penduduk Eropa. Komposisinya, 15 juta Muslim di Rusia, 4,5 juta jiwa di Jerman, 3,5 juta di Prancis, dan sekitar 2 juta dan 1,3 juta jiwa di masing-masing Inggris dan Italia. Sisanya tersebar di Portugal, Swedia, Belanda, Swiss, Belgia dan lainnya.
Sementara Muslim yang hidup di benua Amerika ada sekitar 46 juta jiwa. Dimana Amerika Serikat menempati jumlah paling tinggi, sekitar 2,7 juta jiwa. Tentunya jumlah umat Islam ini akan semakin tumbuh baik di benua Amerika maupun di Eropa. Bahkan tahun 2030, dengan melihat peningkatan jumlah migrasi, tingkat kelahiran dan perpindahan agama, umat Muslim Inggris akan mencapai sekitar 10 persen dari jumlah penduduknya. Bahkan majalah L’Express memprediksi Islam menjadi agama dominan di Bruessel, ibukota Belgia dalam 20 tahun mendatang.
Angka-angaka itu menunjukkan bahwa kampanye kebencian terhadap Islam dalam berbagai bentuknya justru membantu pertumbuhan populasi Muslim di Amerika dan Eropa.
Kedua: Minat negara Barat kembangkan industri keuangan syariah cukup tinggi. Keuangan Islam modern telah eksis dan berkembang pada tahun 1970-an. Industri ini kemudian berkembang secara cepat di negara-negar berpenduduk Muslim seperti Timur Tengah dan Asia. Saat ini, industri keuangan syariah sudah mengalami perluasan geografis ke negara-negara berpenduduk minoritas Muslim. Pada tahun 2010, total aset industri keuangan syariah termasuk perbankan, asuransi dan mutual fund diperkirakan sudah mencapai USD 1 trilliun. Penyebarannya pun sudah mulai menjangkau semua benua di dunia; Asia, Amerika, Eropa dan Afrika.
Negara Eropa yang paling serius mengembangkan industri keuangan syariah bahkan bertekad menjadi pusat keuangan syariah Eropa adalah Inggeris. Untuk mewujudkan hal ini, Inggeris mengamandemen peraturan tentang pajak perbankan untuk mengakomodir legalitas perkembangan produk dan layanan perbankan syariah. Saat ini sudah terdapat 22 perbankan syariah yang beroperasi di Inggeris, 6 yang full syariah dan sisanya masih Islamic window. Negara itu juga sudah menerbitkan sukuk.
Sedangkan di Amerika sendiri, sudah terdapat 9 bank syariah. Australia memiliki 4 bank syariah diikuti Prancis terdapat 3 bank syariah dan Jerman dan Rusia masing-masing 1 bank syariah (IFSL research 2010).
Industri ini tentunya harus ditopang oleh legalitas aturan dalam sistem perbankan. Artinya, sistem perbankan mereka sudah mengakomodir eksistensi industri keuangan syariah.
Fakta ini tentunya menarik. Negara Eropa sangat terkenal dengan tindakan diskriminatif terhadap simbol-simbol Islam di muka publik, seperti pelarangan jilbab dan burqa tapi disaat bersamaan justru mereka melegalkan perkembangan industri syariah dalam sistem perbankan mereka.
Ketiga: Perkembangan produk halal sebagai industri baru. Pertumbuhan populasi Muslim yang saat ini sudah mencapai 25 persen dari penduduk dunia tentunya akan berpengaruh terhadap kebutuhan konsumsi produk-produk halal. Mereka tidak hanya butuh makanan sehat dan bergizi tapi juga harus halal. Negara Barat seperti Amerika, Inggeris dan Kanada yang walaupun penduduk Muslimnya terbilang masih sedikit justru ikut melirik potensi industri ini. Mereka tidak hanya membidik pasar Muslim domestiknya tapi juga negara-negara Muslim yang lain.
Berdasarkan tiga fakta di atas dapat disimpulkan bahwa negara Barat bisa saja menerapkan agenda politiknya untuk memojokkan Islam tapi tak sanggup membendung keinginan pasar (baca: masyarakat) untuk memilih Islam dan sistemnya. Misalnya, orang non-Muslim tertarik pada sistem keuangan syariah lantaran sistemnya yang berprinsip pada keadilan, integritas, transparansi dan tidak terlibat pada investasi berbasis riba, gharar dan maysir seperti derivatif yang justru menjadi sumber krisis pada sistem kapitalisme saat ini. Sistem Islam mucul sebagai solusi atas krisis yang mereka hadapi. Inilah bukti kalau ajaran Islam itu rahmatan li’alamin. Dr. Yusuf al-Qardawi mengatakan andai saja tanpa intervensi dari pihak luar, umat Islam hanya butuh sekitar 20 tahun untuk membangun kejayaannya kembali.
Bahkan Pangeran Charles dalam pidatonya bertema Islam and the environment mengakui prinsip spiritual Islam bisa menyelamatkan dunia. Wallahu’alam bissawab.
Penulis: Ali Rama
0 Komentar: