Semanis Rasa Ikhlas
Pagi itu aku membuka akun facebook, seperti biasa. Biasanya, hanya melihat status-status manusia-manusia disekitarku, banyak yang tidak jelas, tapi banyak juga yang menginspirasi. Dari sekian banyak inspirasi pagi itu, aku sangat tertarik dengan status ustadz di kampungku.
"Gula memang tak pernah kita sebut saat membeli minuman, kita cukup menyebutnya : "Teh es, kopi ginseng, susu coklat, jus tomat dll." Begitulah makna ikhlas. Walau tak disebut, rasa manisnya tetap akan terasa."
Begitulah isi statusnya. Ketika itu juga aku tersentak. Yah, mungkin begitulah sederhananya. Apa salahnya menyebut gula teh es? toh teh es tanpa gula rasanya pahit. Orang akan merasakan nikmatnya segelas teh karena ada rasa manis gula di dalamnya tanpa sebutan gula.
Begitu jugalah orang-orang yang memiliki keikhlasan dalam beramal. Orang lain akan merasakan kebaikannya walau tanpa mengenalnya. Baginya, bekerja keras mengerjakan kebaikan adalah bentuk rayuannya kepada Allah agar Allah melirik dirinya sebagai hamba yang qualified untuk dicintai . Tak peduli seburuk apapun perlakuan orang lain kepadanya, sekejam apapun celaan yang diterimanya, ia akan tetap merasakan kebahagian karena Allah lah tujuan utamanya. Seperti kata Imam Al-ghazali:
“Orang-orang yang mempunyai hati mengetahui bahwa kebahagiaan tidak akan tercapai kecuali dengan ilmu dan ibadah. Semua orang pasti binasa kecuali orang-orang yang berilmu. Orang-orang yang berilmu pasti binasa kecuali orang yang aktif beramal. Semua yang aktif beramal akan binasa kecuali yang ikhlas.”
Sepertinya orang-orang ikhlas sangat memahami bahwa apapun yang kebaikan yang ia lakukan tanpa keihlasan hanyalah buang-buang waktu, melelahkan dan sia-sia di hadapan Allah SWT. Ustadz Hilmi Aminuddin berpesan:
“Jadilah kitab walau tanpa judul, bukan menjadi judul tanpa kitab”
Jadilah orang-orang yang bermanfaat bagi orang lain tanpa mengharapkan pujian, balasan harta dan jabatan, biarlah orang lain tidak mengenal kita tapi mereka merasakan kebaikan-kebaikan yang kita lakukan. Jangan sebaliknya, orang lain mengenal kita dengan baik tapi mereka tidak sedikitpun merasakan kebaikan apapun dari kita, begitulah kira-kira yang saya pahami.
Ustadz Hilmi juga menggambarkan sebuah kisah “Kitab Tanpa Judul” dari sahabat yang luar biasa Khalid bin Walid. Ia yang di copot dari judul panglima perang tetap menjadi kitab yang membantu menorehkan kemenangan, “ Aku berjihad bukan karena Umar atau jabatannku sebagai panglima perang, tapi karena Allah. “. Sekali lagi, begitulah manusia-manusia ikhlas itu berpikir.
Lalu, bagaimanakah dengan kita? Kita yang merasa amalannya masih abal-abal, karena ada riya di dalamnya seperti kata Ali bin Abi Tholib:
“Malas beramal/beribadah ketika sendirian, bersemangat ketika berada dikeramaian, bertambah amalannya ketika dipuji dan berkurang jika tidak. “
Apakah kita mau bilang, udah deh kalo gitu gak usah beramal aja, ntar dibilang riya lagi? Itu juga riya sob, kata Fudhail bin ‘Iyadh.
Maka keikhlasan juga perlu latihan, bahkan Fandhy (Kiamat Sudah Dekat) memerlukan waktu 2 minggu tanpa berhenti untuk menemukan ilmu ikhlas. Menemukannya mungkin bisa saja dalam waktu singkat, tapi perjuangannya adalah perjuangan sepanjang hayat.
Maka, marilah kita melakukan kebaikan itu terus menerus karena Allah menyukai amal yang berkelanjutan. Bila amalan itu kita lakukan secara terus menerus maka itu akan menjadi kebiasaan dan sedikit demi sedikit pujian dan celaan dari orang lain tak kan mempengaruhi amalan kita. Dan bersabarlah dalam melakukannya, karena ketika kita melakukan amal maka akan banyak cobaan yang bisa mempengaruhi keikhlasannya.
Iblis menjawab: “ Demi kemuliaanmu, pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hambamu yang ikhlas diantara mereka. “ (QS. Sad : 82-83)
Dan katakanlah, “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata lalu diberitakannya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. At-Taubah: 105)
Semoga kita senantiasa memperbaiki diri, senantiasa mengerjakan kebaikan-kebaikan dan senantiasa belajar ikhlas dalam setiap amal. Karena Ikhlas adalah ruhnya amal.
Wallahu a’lam bish-shawab
Penulis: Evi Soraya
0 Komentar: