Keterbatasan dan Batasan
Subuh itu Abdullah yang tua dan buta berjalan tertatih agar bisa sampai ke masjid tepat waktu. Tetapi malang, karena matanya yang tidak mampu melihat, beliau terjatuh. Kakinya mengeluarkan darah segar yang tidak sedikit. Namun karena tekatnya yang bulat, beliau tetap melanjutkan perjalanan ke masjid sambil merangkak.
Pada Subuh selajutnya, seperti biasa beliau bergegas berangkat ke masjid. Namun, di tengah perjalanan beliau berjumpa seorang pemuda yang kemudian selalu menuntunnya untuk berjalan ke masjid. Hal yang sama terjadi hingga beberapa hari setelahnya. Suatu ketika Abdullah menanyakan nama sang pemuda karna ia ingin berterima kasih dan mendoakannya. Si pemuda menolaknya. Ia berkilah, “Apa untungnya bagi anda mengetahui namaku? Dan aku juga tak ingin engkau doakan.”
Abdullah membalas, “Jika demikian cukuplah sampai di sini saja engkau membantuku. Aku tak mau engkau menolongku lagi sebab engkau tak mau kudoakan.” Akhirnya pemuda itu memperkenalkan diri, “Wahai Abdullah, ketahuilah bahwa sesungguhnya aku ini adalah iblis”.
“Lalu mengapa engkau menolongku dan mengantarkanku ke masjid setiap hari? Bukankah seharusnya kau mencegahku ke masjid?” tanya Abdullah. Si pemuda menjawab, “Wahai Abdullah, ingatkah engkau tatkala engkau ke masjid dan terjatuh? Aku tidak ingin hal itu terulang lagi. Sebab ketika itu, Allah telah mengampuni separuh dosamu. Apabila engkau terjatuh lagi, maka aku takut Allah akan menghapuskan dosamu yang separuh lagi sehingga terhapuslah dosamu seluruhnya. Dan jika demikian, maka sia-sialah kami menggodamu selama ini."
***
Pada permulaan era dakwah, Rasulullah sering mengadakan dialog dengan para pembesar Quraisy, berharap mereka masuk Islam. Pada suatu ketika, Rasulullah tengah berjumpa dengan ‘Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, Abu Jahal, Umayyah bin Khalaf, dan Walid bin Mughirah. Rasulullah berunding dan bertukar pikiran dengan mereka tentang Islam. Harapannya, dengan berimannya para tokoh Quraisy, maka bertambah kuatlah Islam. Kegiatan dakwah bertambah lancar.
Tiba tiba seorang bernama Abdullah datang dan meminta dibacakan ayat-ayat Alquran. Orang ini buta, dan tidak juga termasuk pembesar kaum Quraisy juga. Pun Abdullah tidak tahu kalau Rasullah tengah serius berdakwah. Rasulullah merasa sedikit terganggu dan malah membelakangi Abdullah serta melanjutkan pembicaraannya dengan pembesar Quraisy.
Selesai berbicara, Rasulullah bermaksud pulang. Tiba tiba penglihatan beliau menjadi gelap dan kepalanya sakit seperti kena pukul. Kemudian Allah berfirman ”Dia bermuka masam dan berpaling. Karena seorang buta datang kepadanya…..” (Q.S. Abasa: 1-16)
***
Abdullah pada dua kisah di atas adalah Abdullah yang sama. Abdullah bin Ummi Maktum. Seseorang yang dilahirkan sejak kecil dengan keterbatasan fisik, namun tidak menutupi semangatnya untuk menjadi pribadi yang mulia. Menurut sebuah riwayat, beliau adalah seorang muadzin yang dipilih Rasulullah karena kepekaannya untuk mengetahui masuknya waktu shalat, selain Bilal bin Rabah.
Abdullah bin Ummi Maktum menunjukkan bahwa keterbatasan fisik bukanlah halangan untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan bermanfaat bagi orang banyak. Padahal beliau memiliki “excuse syar’i” yang bisa saja meringankan beban beliau dalam banyak hal. Namun hal itu tidak membuatnya berhenti beramal dan minta dikasihani. Sebaliknya, beliau berusaha sekuat tenaga untuk menjadi lebih baik. Abdullah bin Ummi Maktum datang dari golongan yang biasa saja, malah bukan siapa-siapa. Tetapi, hidupnya mampu menginspirasi - sekalipun dengan segala keterbatsan yang dimilikinya.
Berbicara tentang kekurangan dan keterbatasan, makhluk hidup bernama manusia pasti memilikinya, tanpa terkecuali. Namun yang membedakan satu dengan yang lainnya adalah bagaimana tiap-tiap manusia tetap berusaha berdiri tegak dengan kelebihannya tanpa mengeluhkan kekurangan yang ia miliki.
Mengambil contoh dari Abdullah bin Ummi Maktum, beliau memiliki keterbatasan dalam penglihatan namun memiliki kelebihan dalam kepekaan terhadap waktu. Hal ini yang menjadikan beliau sebagai salah satu muadzin yang dipercaya oleh Rasulullah. Menjadi muadzin tentulah bukan hal yang mudah bagi seseorang yang tuna netra. Ia harus merangkak dan meraba-raba jalanan yang belum tentu aman baginya. Itu pun harus beliau lakukan dengan cepat, mengingat keharusan sampai di masjid tepat waktu.
Bagaimana dengan diri kita yang (paling tidak) diberikan kemudahan penglihatan? Kira-kira seberapa persenkah usaha kita untuk berbuat kebaikan bila dibandingkan dengan sosok Abdullah? Bisakah untuk tetap menginspirasi dengan segala keterbatasan diri? Dan, apakah keterbatasan memang merupakan sebuah batasan?
Penulis: Amjad Dhiyaulhaq
Penulis: Amjad Dhiyaulhaq
0 Komentar: