Manusia dan Kematian
Sumber: asepsupriatna.com |
Sudah menjadi keyakinan kita di dunia bahwa segala yang bermula pasti akan berakhir. Setiap titik awal pasti akan sampai pada titik habis. Tidak ada keabadian di dunia ini. Semuanya datang dan pergi silih berganti. Berubah sejalan dengan pergeseran detik.
Demikian pula kalau kita mau renungkan alam sekitar kita. Dari tumbuh-tumbuhan, binatang, sampai makhluk seperti kita yang biasa dipanggil manusia. Semua pasti akan mengakhiri tiap-tiap hal yang sudah diawali.
Manusia misalnya. Perjalanan dimulai ketika kita terlahir ke dunia. Keluar dari alam rahim Ibu kita. Bermula dari bayi merah tak berdaya, untuk kemudian berangsur tumbuh menjadi anak-anak. Sesudahnya kita akan masuki masa remaja dengan segala keceriaan dan kelincahannya.
Fase selanjutnya adalah masa dewasa dan tua. Dan berujung ketika sudah tiba saatnya manusia menepati janji yang telah dibuat sejak masih dalam kandungan. Janji akan perpindahan kita dari alam dunia ke alam kubur.
Sahabat-sahabatku, manusia diciptakan oleh Allah memiliki dua wadah inti, yaitu jasad dan jiwa.
لَقَدْ خَلَقْنَا اْلإِنسَانَ فيِ أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
"Sungguh telah Kami ciptakan kalian (manusia) dalam bentuk kejadian yang sebaik-baiknya.” (At-Tin: 5)
Manusia diciptakan Allah dengan dua unsur pokok. Pertama adalah unsur jasmani. Dan kedua unsur rohani. Dan keduanya, seperti yang telah Allah firmankan dalam surat At-Tin ayat 5, dicipta dalam bentuk sebaik-baiknya.
Sangat jelas memang manusia adalah makhluk terindah yang pernah Allah ciptakan. Memang semburat langit senja ketika matahari terbenam sangat membuaikan. Pun hamparan pasir kemerahan yang rutin disapa oleh buih ombak, begitu cantik.
Tapi coba sekarang bandingkan dengan wajah orang terdekat kita, Ibu. Coba pandangi wajahnya, barang semenit atau dua. Wajah seorang perempuan yang biasa menimang kita dengan nina bobonya di pagi buta dengan kantuk yang mencekam. Wajah seorang perempuan yang sering menangis tersedu tanpa kita pernah ketahui. Coba deh bayangkan betapa cantik wajahnya. Nggak kalah kan dengan semburat langit senja?
Kembali lagi ke jasmani dan rohani manusia. Keduanya sama-sama penting.
Sayangnya, banyak dari kita yang lebih memprioritaskan aspek jasmani ketimbang rohani. Kita berlomba-lomba memperbaiki penampilan. Kesana kemari dengan pakaian termahal. Tak lupa juga dengan gaya hidup yang mentereng. Seolah-olah penampilan jasmani adalah segala-segalanya. Terkadang kita lupa bahwa ada unsur pokok lain dalam hidup kita.
Padahal, tubuh ini hanyalah wadah untuk jiwa kita. Jasmani adalah kostum yang kita pinjam untuk kita gunakan dalam acara besar bernama kehidupan.
Coba kita ingat sebentar. Pernahkah sahabat melihat jenazah yang hendak dimandikan? Apakah ada yang kurang dengan tubuh mereka? Tidak ada bila kita berbicara tentang jumlah. Lantas yang yang kurang? Dua telinganya tak lagi bisa mendengar. Dua matanya utuh, tapi tidak lagi bisa melihat. Kakinya juga masih ada dua, tapi tidak sanggup lagi berjalan. Lantas kemana jasad yang dulu ketika hidup kita sangat bangga-banggakan? Yang akan terus berlanjut perjalanannya adalah jiwa kita. Jiwa kita yang nanti akan mampir di alam kubur, sampai akhirnya penentuan dengan tangan apa kita akan menerima kitab catatan amal kita,
“Adapun orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanannya, maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah, dan dia akan kembali kepada kaumnya (yang sama-sama beriman) dengan gembira.” (QS. Al-Insyiqaaq: 7-9)
Semoga kita bisa termasuk dalam golongan yang dimaksud. Karena teman-teman pasti tahu kalau neraka itu sakit. Disana nanti kita akan dibersihkan dengan rasa sakit yang teramat. Akan disiksa, direbus, dan dibakar sampai kita mati. Lalu di hidupkan lagi untuk kembali disiksa. Begitu hingga dosa kita terbayar.
Yah, tentu saja kita semua tahu dan paham betul akan hal tersebut. Hafal bahkan. Cuma sering kali kita lupa, lalai. Bahkan mungkin karena terlalu sering mendengarkan peringatan tentang panasnya neraka, kita sampai bosan. Bahkan mungkin sampai memudar rasa takut kita, berganti dengan tidak peduli. Na’udzubillahi min dzalik.
Lalu bagaimana caranya agar kita terus ingat? Kyai Abdul Hayyi Naim dari Cipete dalam majlisnya pernah bertanya seperti ini.
كيف تحبّ أن يأتي إليك الموت؟
Gimana enaknya ente pada mau mati?
Cara manusia menghadapi ajalnya sangat berragam. Ada yang meninggal ketika olahraga. Ada yang meninggal ketika belajar. Juga ada orang yang meninggal tiba-tiba tanpa kita tahu sebabnya.
Terlihat begitu random. Tetapi ternyata meninggal mempunyai aturannya sendiri, ada setting-nya. Beliau menambahkan gini: manusia itu mati sesuai dengan apa yang biasa mereka lakukan. Mau meninggal pas lagi maksiat? Bisa saja. tinggal perbanyak maksiat. Mau meninggal pas lagi ngomongin orang? Bisa juga, caranya sama: perbanyaklah ngomongin orang.
Tetapi, maukah kita semua mengakhiri perjalanan kita di dunia dengan cara demikian? Tidak kan?
Tentu kita lebih ingin meninggal ketika sedang bersimpuh dalam sujud. Atau ketika kita tengah terisak membacai firman-firman Allah. Apakah bisa? Tentu saja, InshaaAllah bisa.
Bagaimana caranya? Dari penjelasan singkat tentang setting kematian tadi tentu kita sudah tahu caranya. Yang menjadi pertanyaan pentingnya adalah kapan. Kapan kita akan memulai amalan-amalan baik yang juga kita inginkan akan menjadi penutup hidup?
Wallahu a’lam bish shawaab.
Penulis: Muhammad Rizki Baihaqi
0 Komentar: