Sebuah Jalan
Gambar: anneahira.com |
Ada sebuah jalan
panjang jarak tempuhnya
dan juga terjal medannya
Aduhai, jalan apa itu?
Jalan yang tidak ditempuh kaum-kaum terdahulu
Pun kaum nabi nuh, Ibrahim, musa, isa tidak menempuhnya
barulah kita sebagai kaum nabi Muhammad diminta untuk melaluinya
Aduhai, jalan apa itu?
Jalan yang dimana kita tidak diminta untuk sampai ke ujungnya
Akan tetapi hanya diminta untuk mati di atasnya
Aduhai, jalan apa itu?
Ketahuilah wahai saudaraku
Jalan itu adalah
Jalan dakwah.
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُوا إِلَى اللهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللهِ وَ مَآ أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah: “Inilah jalanku (agamaku). Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata (ilmu dan keyakinan). Maha suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”. [Yusuf:108].
Sungguh jalan ini adalah jalan yang amat panjang. Yang tidak hanya ditempuh dalam hitungan menit, hari, ataupun tahun bahkan milenia. 22 tahun umur beliau setelah bi’tsah nubbuwah hingga akhir hayat beliau, Rasulullah SAW habiskan disana. Tidak pula dengan terburu buru dalam melaluinya, yang berharap sekarang berdakwah dan keesokannya sudah berhasil. Bukan, dakwah bukanlah seperti itu. Tabarraka rahman, sungguh indah jalan ini.
Dakwah bukan sekedar berbicara di depan umum, menyampaikan kultum, khutbah, ataupun ceramah. Akan tetapi meliputi berbagai macam aspek dalam hidup kita. Bahkan gerak gerik tubuh kita, aktifitas kita bisa berwujud dakwah jika dilandasi dengan niat yang tepat dan perbuatan yang benar. Janganlah kau anggap yang di depan umum menyampaikan ayat-ayat Allah lebih berdakwah ketimbang panitia konsumsi yang menyiapkan makanan untuk para jamaah. Jangan juga kau mengira bahwasanya yang duduk di shaf awal dalam suatu pengajian lebih berdakwah ketimbang yang dibelakang. Bisa jadi yang duduk-duduk dibelakang malah lebih berdakwah.
Hobi kita pun bisa menjadi dakwah bagi kita. Ada yang bertanya, “hobi saya kan Rihlah/traveling, mana bisa jadi lahan berdakwah” jawabannya, tentu saja bisa. Jadilah seperti burung hud-hud, yang dimana rihlahnya tercatat dalam catatan sejarah sebagai rihlah dakwah. Mengabarkan kepada nabi sulaiman bahwasanya ada suatu negeri yang aman, makmur, sejahtera namun penduduk negeri itu masih menyekutukan Allah dengan menjadikan matahari sebagai sesembahan mereka, yaitu negeri saba’. Jadilah agent agent dakwah dengan menjadi the next Ibnu Batutah. Jelajahi bumi Allah yang luas ini, singgahi berbagai macam negeri-negeri di bumi ini.
Sampaikanlah barang sepatah dua patah ayat kepada orang-orang yang merindukan cahaya hidayah di dalam hati mereka. Sehingga saya berikrar di dalam hati akan menjelajahi bumi Allah yang luas ini, singgah diberbagai macam negeri, menginjakkan kaki di bermacam benua untuk menyampaikan bahwasanya Allah adalah satu-satunya dzat yang pantas untuk disembah. Bukan sekedar perjalanan untuk liburan saja, akan tetapi ada suatu misi yang diemban untuk dapat disampaikan. Oleh karena itu, para sahabat-sahabat, kakak kelas, maupun adik kelas yang membaca tulisan saya ini mohon doanya agar beberapa tahun kedepan setelah antum-antum membaca tulisan ini, saya Athariq Faisal sudah menjadi seseorang yang dapat menyampaikan barang seayat ataupun dua ayat ilmu di berbagai belahan dunia. Menjadi the next Ibnu Batutah sang penjelajah untuk menyampaikan ayat-ayat Allah.
Betapa banyak barakah yang terdapat dijalan dakwah ini. Status kita sekarang sebagai mahasiswa tidak menghalangi kita untuk berdakwah. Jadilah mahasiswa “KUDA KUDA” Kuliah dakwah, kuliah dakwah. Bukan sekedar mahasiswa “KUPU KUPU” kuliah pulang, kuliah pulang. Bergabunglah disuatu jamaah atau organisasi. Sebab dengan bergabung di salah satu organisasi, apalagi organisasi itu adalah organisasi keislaman dapat menjadikan kita terpacu untuk berkontribusi kepada sesama.
Sibukan diri dengan kegiatan kegiatan positif hingga kita tidak sempat untuk sekedar memikirkan hal-hal yang sia-sia. Juga menjadi sebab mengapa kita harus bergabung di dalam suatu jamaah atau organisasi adalah suatu perkataan yang masyhur dinisbatkan kepada sayyidina Ali rhadiyalahu anhu, yaitu kalimat “Kalau ada kebenaran yang tidak tertata dengan baik, maka dia akan dikalahkan dengan kebatilan yang tertata dengan baik” itu sebab kita harus bergabung di dalam suatu organisasi untuk bersama-sama menyusun suatu program yang jitu yang innovatif untuk mengajak masa sebanyak-banyaknya masa untuk bergabung di program tersebut dan kemudian, kita sisipkan dakwah di dalamnya.
Berdakwah juga memerlukan seni ataupun metode-metode khusus dalam penyampaiannya. Ada sebuah kisah unik, menceritakan tentang seseorang yang ingin masuk islam. Orang itu dituntun untuk bersyahadat oleh petugas kantor keagamaan. dia melafalkan kalimat syahadat dengan terbata-bata karena saking susahnya mengucapkan lafadz arab. “as ngadu.... as ngatu...” sehingga berulang kali petugas itu membetulkannya. Si petugas sangat bersikeras agar si muallaf mengucapkan kalimat syahadat dengan fasyih dan benar. Tidak boleh ada salah sedikitpun. Sehingga hampir 10 menit muallaf itu mati-matian berusaha mengucapkan kalimat syahadat dengan benar. Sang muallaf berkata di dalam hati “masuk islam susah betul ya, baru masuk aja udah disuruh harus ngomong bahasa arab yang fasih”.
Belum sampai disitu penderitaan sang muallaf, sang petugas lalu menanyakan sebuah pertanyaan yang biasa ditanyakan kepada orang yang baru masuk islam. “bapak sudah disunat?, kalau belum pokoknya bapak harus disunat malam ini juga!” lantas si muallaf marah “agama macam apa ini!, tadi saya mati-matian disuruh ngucapin lafadz arab, sekarang saya disuruh sunat. Mending saya ga jadi masuk islam aja deh. Awal-awalnya aja susah, apalagi yang lain.
Jika kita berkaca pada kisah tersebut, siapakah yang patut untuk dipersalahkan? Si muallaf kah yang salah? atau si petugas? Jelas, sikap yang kurang tepat adalah sikap sang petugas dikarenakan kesalahan dalam memilih metode dakwah bagi mad’u. Seharusnya sang petugas memberi kemudahan bagi sang muallaf ketika melafalkan syahadat dengan mentoleransi kesalahan-kesalahan dalam penyebutannya. Dan juga tidak menyuruh sang muallaf untuk langsung disunat.
Berilah kemudahan bagi orang-orang muallaf yang baru saja masuk islam.Tekankan dalam perkara-perkara aqidah terlebih dahulu, ajari sholat secara pelan-pelan, beri kemudahan, beri kelapangan. Belajarlah dari para walisongo yang dengan luar biasanya mampu menjadikan nusantara bermayoritaskan muslim yang sebelumnya bermayoriaskan hindu. Lihat bagaimana metode sunan kalijaga, sunan kudus, sunan ampel, dan sunan-sunan lainnya dalam berdakwah. Betapa jitunya cara mereka dalam berdakwah. Sehingga saya sering bertanya-tanya juga “adakah di zaman sekarang, sebuah organisasi dakwah yang bisa menyamai kualitas dari walisongo?” Betapa luar biasanya mereka, dengan sunan yang berjumlah 9 orang mereka pergi ke penjuru nusantara untuk menyebarkan agama islam dan berhasil.
Coba sekarang ada atau tidak suatu organisasi dakwah yang mampu mengirimkan 9 delegasi mereka ke suatu negeri bilang saja negara jepang untuk berdakwah disana dan dapat mengubah mayoritas penduduk beragama shinto menjadi mayoritas islam dalam kurun waktu tertentu. Semoga kedepannya akan hadir sosok-sosok seperti walisongo yang dengan dakwahnya menyebar rahmah bukan musibah, menyebar kasih bukan perih.
Mari kita bersama-sama untuk selalu menjadikan amalan kita menjadi suatu gerak amal dakwah bagi sesama. Menjadi agent of change, menjadi umat yang selalu menyanding selendang dakwah di bahunya. Dan mudah mudahan di akhir hayat kita, kita tetap berada di atas jalan dakwah ini sehingga kita tercatat sebagai hamba yang berusaha untuk menyebar kebaikan disisi rabbnya, aamiin yarabbal ‘alamiin. Wallahu a’lam bi showaab.
Penulis: Athariq Faisal
0 Komentar: