Elegi Sumarah
Gambar : dakwatuna.com |
"Dari sekian banyak kemungkinan, kamu pilih yang mana?"
Ucapku lirih, pandanganku masih terpaku ke arah langit. Pendar oranye dari bayangan purnama malam ini begitu mengesankan. Seakan bercerita, bahwa ada begitu banyak hal yang tak mampu dilukiskan oleh kata-kata, hanya tersisa bulan yang kini membisu-menyaksikan segalanya.
Ia menghela nafas. Menatapku sekilas.
"Sederhana. Yang paling banyak memberikan kebahagiaan".
Aku menoleh, keningku mengerut tipis.
"Meski kau harus mengorbankan banyak hal?"
Ah, selalu begini. Aku tak pernah bisa mencapai apa yang ada dalam pikirannya. Sekalipun tak pernah.
Ia tersenyum simpul. Sorot matanya kini menatapku hangat, membuatku terdiam sesaat.
"Bagiku... kebahagiaan itu tak pernah diukur dari sedikit atau tidaknya yang harus dikorbankan. Kau akan selalu menemukan alasan untuk bahagia, sesulit apapun pilihannya, sebesar apapun pengorbanannya. Dan percayalah, selama kamu yakin tak akan ada penyesalan yang muncul setelahnya, maka semua menjadi sederhana lakukan atau kebahagiaanmu akan menghilang seutuhnya."
Aku mengangguk. Mendengarnya takdzim.
Gestur wajahnya seakan menjelaskan banyak hal. Tentang kemantapan hati. Tentang pendirian yang kokoh. Tentang kerelaan yang tulus. Segala hal menjadi sederhana, ketika ia mulai berbicara.
"Meski itu berarti melepas kebahagiaan yang lain pergi?"
Tanyaku beberapa detik kemudian. Hening.
Ia menyandarkan tangan ke belakang, merebahkan badan.
"Tak ada kebahagiaan yang pergi, Ka.
Ia hanya berganti. Ketika disandingkan dengan penerimaan, maka kebahagiaan akan selalu menemukan jalannya pulang. Mungkin bukan melalui jalan yang kita inginkan, namun setidaknya ia tidak tersesat. Ia akan tetap sampai pada tujuan"
Ia menjawab mantap. Matanya terpejam, menikmati semilir angin laut yang menyejukkan.
Senyap. Hanya terdengar suara debur ombak, menyatu dengan dengingan serangga. Kalau saja manusia bisa merekam momen dan menyimpannya dalam botol kaca, mungkin momen ini akan menjadi salah satunya.
Aku menunduk, menatap riak-riak air yang bergelombang pelan, menyapa sudut-sudut kayu di ujung dermaga. Kemudian aku merogoh kantung, teringat akan perahu kertas yang kami buat sesiangan tadi bersama anak-anak pulau ini. Kualirkan perahu kertas itu ke permukaan air. Perlahan perahu itu terhanyut, membiarkan lautan membawanya pergi tanpa pertanyaan.
"Jadi seperti ini rasanya melepaskan", gumamku pelan.
Ia terbangun, menepuk-nepukkan tangan ke sisi kirinya. Lalu menoleh ke arahku, seakan terusik oleh apa yang aku lakukan barusan.
"Kau tahu.....". ucapnya.
Aku hanya diam. Menunggu.
"Kata ayah, cara termudah untuk bahagia adalah melepaskan. Semakin tulus kau melepaskan sesuatu, maka akan semakin lapang hatimu untuk menerima kebahagiaan-kebahagiaan yang baru."
Satu per sekian detik. Aku hanya membalasnya lemah.
"Entahlah, aku rasa melakukannya selalu lebih rumit ketimbang mengatakannya."
"Melepaskan Ka, bukan melupakan. Sesuatu yang kita lepas pergi, bukan berarti ia tidak akan kembali lagi. Jika langit menakdirkan, ia akan kembali dengan cara yang mengagumkan. Kamu paham hal itu, bukan?"
bicaranya tenang, namun terselip ketegasan di sudut matanya.
Mungkin bukan hanya aku satu-satunya orang yang merasakan, tapi orang-orang di sekitarnya pastilah berpendapat demikian. Bahwa ia selalu bisa meyakinkan seseorang dengan cara yang berbeda dari orang kebanyakan : menghargai, bukan menghakimi.
"Tapi, bagaimana jika..."
Ucapanku terhenti. Tak ingin mengatakannya lebih jauh. Tak ingin membiarkan sesak itu kembali menguap. ingin merusak dinding-dinding yang telah susah payah kubuat.
la memotong pembicaraan, seakan tahu apa yang ingin aku katakan.
"Selalu saja begitu. Terlalu sibuk dengan apa-apa yang belum terjadi di hadapanmu. Namun lupa, akan apa-apa yang sejatinya bisa kau raih dari sekelilingmu. Cukup. Bukankah kamu yang mengatakan untuk merelakan segalanya pada Yang Maha Menentukan? Lantas apa lagi yang harus dikhawatirkan?"
Aku menghela nafas sejenak. Percakapan ini semakin menimbulkan sekelumit pertanyaan. Meski di satu sisi, juga menanamkan begitu banyak pemahaman. Aku mengerti, lebih dari mengerti akan apa-apa yang ia katakan.
"Merelakan juga berarti siap untuk menghadapi segala hal yang tak sesuai dengan harapan. Jika saat ini kamu belum siap, tak apa. Tapi kelak, ketika kamu sudah memasrahkan segalanya, maka percayalah akan selalu ada orang orang yang menguatkan. Kamu tak akan pernah berjalan sendirian. Tak akan pernah". Ujarnya lembut.
Tatapan kami menerawang ke depan. Menyadari bahwa masih tersisa petualangan panjang yang harus dilalui, masih banyak makna-makna hidup yang belum kami temui, masih tersimpan rahasia-rahasia langit yang menanti di akhir perjalanan ini.
Dan kami juga sadar. Pada akhirnya, titik temu dari semua ini adalah tentang sebuah keyakinan. Bahwa janji langit tak akan pernah tertukar. Ia akan tetap terjadi, meski itu tidak selaras dengan apa yang manusia inginkan. Yang tersisa hanya bagaimana kita bersedia untuk mengikhlaskan. Seperti perahu kertas yang mengalir, membiarkan lautan membawanya pergi tanpa pertanyaan.
Penulis : Azka Sa'dan
0 Komentar: