Gambar : bintang.com

Alkisah pada masa tabi’in, di suatu malam yang telah larut, rumah Imam Harun bin ‘Abdillah Al Baghdadi diketuk oleh seseorang dengan ketukan yang teramat pelan. “Siapa di luar?” tanya Imam Harun sembari membuka pintu rumahnya. “Ahmad”, begitu jawaban dengan intonasi yang sangat rendah yang diberikan oleh tamu tersebut. “Ahmad siapa?” Imam Harun masih bertanya untuk memperjelas siapakah gerangan tamu yang datang malam itu. “Ahmad bin Hambal. Boleh aku masuk?” lanjut si tamu. “Subhanallah, itu guruku!” sontak saja Imam Harun berseru begitu mendengar nama Ahmad bin Hambal. Tanpa bertanya lagi beliau langsung mempersilahkan Imam Ahmad untuk masuk.

Dengan berjingkat-jingkat Imam Ahmad berjalan memasuki rumah Imam Harun, duduk di kursi dengan gerakan yang sangat pelan untuk memastikan agar tidak ada bunyi-bunyian yang berasal dari gerakannya itu.

Setelah keduanya duduk, Imam harun kembali bertanya kepada gurunya tersebut. “Wahai Imam, kenapa tidak engkau panggil saja aku untuk menemuimu jika engkau memang memerlukan diriku?”. Imam Ahmad pun langsung menyahut dengan sedikit berbisik, “sssttt… jangan keras-keras, aku tahu diwaktu seperti ini engkau belum tidur, oleh sebab itu aku memberanikan diri untuk datang ke rumahmu.” “Apakah engkau mau menyampaikan sesuatu wahai Imam? Perihal apa? Apakah ada kaitannya dengan diriku? Silahkan disampaikan Imam.” kata Imam Harun lagi. Imam Ahmad menjawab “Iya. Begini Harun, tadi siang aku melihat engkau mengajar murid-muridmu. Ketika itu murid-muridmu terkena sinar matahari sedangkan engkau terlindungi oleh bayangan pohon. Lain kali jangan begitu. Jika engkau sedang mengajar, duduklah dalam keadaan yang sama seperti murid-muridmu.

Cuma itu yang ingin aku sampaikan Harun. Aku pamit dulu, Assalamu’alaikum.” Lalu Imam Ahmad pun kembali berjalan berjingkat-jingkat keluar dan kemudian berlalu meninggalkan rumah Imam Harun.

“Itulah guruku, Imam Ahmad bin Hambal. Beliau bisa saja menegurku siang tadi secara langsung, namun hal tersebut tidak beliau lakukan demi menjaga wibawaku di depan semua muridku. Beliau pun bisa saja datang ba’da Maghrib kemudian menegurku agar tidak melakukannya lagi, tapi beliau tidak mau itu didengar oleh keluargaku yang kemungkinan nantinya anak-anakku akan memandang lain kepadaku.

Beliau memilih waktu dimana yang lainnya telah tertidur sedangkan Aku masih terjaga. Beliau datang dengan sembunyi-sembunyi untuk memberikan nasehat kepadaku, bahkan seolah-olah tidak ingin syeitan tahu hal itu” tutur Imam Harun bin ‘Abdillah Al Baghdadi yang diceritakan sangat indah oleh Ustadz Salim A. Fillah dalam salah satu ceramah beliau.

Sebuah akhlak yang luar biasa santun yang telah dicontohkan oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam memberikan nasihat. Lembut, bertutur kata baik, tidak menggurui dan sangat cerdas dalam memilih waktu serta kondisi yang tepat untuk menasihati. Inilah yang menjadi salah satu kunci keberhasilah sebuah nasihat. Selain itu, niat ketika menyampaikan kebenaran pun haruslah karena Allah SWT. Menginginkan bahwa orang yang dinasihati tersebut kembali ke jalan Allah, bukan karena merasa kita lebih baik darinya.

Sedangkan jika posisinya adalah sebagai orang yang mendapatkan nasihat, kita pun bisa mengambil pelajaran dari sikap seorang Imam Harun bin ‘Abdillah Al Baghdadi ketika dinasihati oleh gurunya. Tidak menolak dan berlapang dada menerimanya. Karena sejatinya nasihat itu adalah sesuatu yang amat berharga. Jika sebuah nasihat diibaratkan sebagai berlian, maka dengan cara apapun kita mendapatkannya ia tetaplah berlian yang memiliki nilai yang sangat tinggi.
Wallahu a’lam.

Penulis : Auliza Hastri

Gambar : bintang.com Alkisah pada masa tabi’in, di suatu malam yang telah larut, rumah Imam Harun bin ‘Abdillah Al Baghdadi diketuk oleh ses...

Gambar : keranews.org

“Uang diciptakan untuk dihabiskan” kata Pak Ahmad Gozali (Pakar Keuangan dan Emas) pada Gebyar Wirausaha, Ahad 22 April 2012 lalu. Namun kebanyakan orang caranya salah dalam menghabiskan uang.
Biasanya urutannya begini……

1. Biaya Hidup
2. Tabungan
3. Bayar Hutang
4. Sedekah/ Zakat

Padahal, itu cara paling sesat !!!Dengan cara diatas, berapapun uangnya, akan habis hanya untuk biaya hidup, jangankan nabung, bayar utang, apalagi sedekah. Lalu harus bagaimana? DIBALIK AJA URUTANNYA!

1. Sedekah/Zakat
2. Bayar Hutang
3. Tabungan
4. Biaya hidup

Sekarang mari bahas satu per satu….

1. SEDEKAH
Kenapa sedekah  harus diawalkan? Karena Allah yang memberikan rezeki kepada kita, maka lakukanlah apa yang Allah senangi dulu. Ini belum berbicara tentang kejaiban sedekah yang banyak dirasakan orang. Sedikit cerita, setelah saya ikut acara Mas Ippho, saya rekomendasikan bapak saya untuk ikut. Beliau ikut yang di Solo. Seperti biasa, diakhir acara, ada sesi sedekah gila-gilaannya.
Bapak pun ikut sedekah. Saya nggak tahu jumlahnya. Yang saya tahu, niatnya agar bisa Umroh. Sepulang dari acara, belum sampai rumah, ada yang telepon minta ditemani Umroh. Ini beneran!!! Alhamdulillah. “Sedekahnya boleh 20 % , tapi keyakinannya harus 100%” kata Mas Ippho.

Coba deh, setiap kali uang, segera sisihkan untuk sedekah. Bukan nunggu sisa. Nggak mau kan kalo dikasih sisa? kecuali sisanya Raja Salman :D

2. BAYAR HUTANG
Nah, ini sangat penting. Harusnya ini diawalkan. Namun jika hutangnya terlalu banyak dan belum mampu untuk bayar sekaligus, mending dibantu dengan sedekah. Agar rezekinya makin berkah. Biar sedikit, nggak habis-habis. Ingat ya, catat setiap hutang! Agar tidak terlupa dan menjadi beban di akhirat sana. Yang ini memang harus ditunaikan antar sesama manusia. 

3. TABUNGAN
Islam menganjurkan untuk sedekah juga investasi. “Belikan dari sebagian gajimu kambing!” begitu kurang lebih anjurannya. Ini untuk persiapan masa depan, maka harus direncanakan dengan matang.
Kalau menabung menunggu uang sisa, maka hasilnya tidak akan pernah ada. Seperti teori ekonomi mengatakan ; Keinginan manusia itu selalu melebihi jumlah uang yang ada, sekaya apapun orangnya. Untuk menghindari dampak inflasi terhadap uang tabungan, biasakanlah menyimpannya dalam bentuk EMAS karena nilainya akan tetap stabil.

4. BIAYA HIDUP
Nah, sekarang saatnya mencatat kebutuhan untuk hidup. Setelah semua hal diatas dilakukan, habiskanlah uang yang tersisa. Ini akan terasa nyaman saat berbelanja. Tidak ada lagi pikiran mau sedekah, mau bayar hutang, mau menabung, karena semuanya sudah dilaksanakan. Coba deh. Lalu bagaimana jika tidak cukup? Pak Ahmad Gozali bilang “Kecilkanlah anggaran biaya hidup”. Kalau biasanya sekali makan 50,000 ya jadi 25,000. Begitupula kebutuhan yang lainnya. Ingat ya, kebutuhan bukan sekedar keinginan. Ada satu tips juga dari beliau; Kalo mau belanja, usahakan perut dalam keadaan kenyang, agar tidak melirik ke banyak hal yang tidak perlu. 

Sebelum akhir, ada 2 Prinsip mengatur keuangan yang saya dapatkan ketika itu:

Pertama, Pay for God first. Intinya sisihkan untuk amal atau urusan akhirat.
Kedua, Saving dulu baru Shopping !!!

Semoga TIPS yang saya catat tahun 2012 lalu ini bermanfaat.
Terimakasih ilmunya Pak Ahmad Gozali. Baru kerasa setalah 4 tahun diterima.


Penulis : Muhammad Hamka

Gambar : keranews.org “Uang diciptakan untuk dihabiskan” kata Pak Ahmad Gozali (Pakar Keuangan dan Emas) pada Gebyar Wirausaha, Ahad 22 Apr...

Gambar : pinterest.com

Sungguh lembaran sejarah telah banyak bercerita betapa agungnya Muhammad Rasulullah SAW. Pantas saja jika seorang astrofisikawan Amerika Serikat Michael H. Hart pun tidak sanggup menyembunyikan kekagumannya pada Nabi Muhammad dengan menulis namanya diurutan pertama dalam bukunya “100 tokoh yang paling berpengaruh dalam sejarah”.

Kembali mengingat betapa kerasnya perjalanan da’wah Rasul, beliau tidak hanya di hujat, dicaci, diboikot, bahkan juga akan dibunuh. Tentu kita pun masih ingat bagaimana sambutan luar biasa orang –orang Thaif ketika beliau mengenalkan Islam, tidak hanya cacian tapi juga lemparan batu. Lalu apa yang dilakukan Rasulullah? Apakah membalas melemparinya dengan batu??? Tidak Rasulullah tidak melakukan itu bahkan ketika malaikat Jibril pun datang untuk menawarkan adzab apa yang beliau harapkan untuk orang-orang Bani Tsaqif ini, Rasul pun hanya membalasnya dengan do’a sebagaimana telah dirawayatkan oleh Bukhari dan Muslim.

Aisyah R.A berkata: “Wahai Rasulullah, pernahkah engkau mengalami peristiwa yang lebih berat dari peristiwa Uhud?“ Jawab Rasulullah, “Aku telah mengalami berbagai penganiayaan dari kaumku. Tetapi penganiayaan terberat yang pernah aku rasakan ialah pada hari ‘Aqabah dimana aku datang dan berdakwah kepada Ibnu Abdi Yalil bin Abdi Kilal, tetapi tersentak dan tersadar ketika sampai di Qarnu’ts-Tsa’alib. Lalu aku angkat kepalaku, aku pandang dan tiba-tiba Jibril memanggilku seraya berkata, “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan dan jawaban kaummu terhadapmu, dan Allah telah mengutus Malaikat penjaga gunung untuk engkau perintahkan sesukamu.“ Rasulullah melanjutkan, kemudian Malaikat penjaga gunung memanggilku dan mengucapkan salam kepadaku lalu berkata, “Wahai Muhammad! Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan kaummu terhadapmu. Aku adalah Malaikat penjaga gunung, dan Rabb-mu telah mengutusku kepadamu untuk engkau perintahkan sesukamu, jika engkau suka, aku bisa membalikkan gunung Akhsyabin ini ke atas mereka.“ Jawab Rasulullah, “Bahkan aku menginginkan semoga Allah berkenan mengeluarkan dari anak keturunan mereka generasi yang menyembah Allah semata, tidak menyekutukan-Nya, dengan sesuatu pun.“ (HR. Bukhari Muslim).

Mari kembali mengingat bagaimana saat Rasul diludahi tiap kali keluar rumah oleh seorang Yahudi dan ini berlangsung setiap hari. YES, EVERYDAY!  Lalu apa reaksi Nabi Muhammad? Lagi… lagi beliau hanya tersenyum kepada orang yang meludahinya, membersihkan ludah yang menempel di badan atau bajunya, kemudian pergi meninggalkan yahudi itu. 

Sampai suatu pagi ketika Nabi Muhammad SAW lewat di depan rumah sang Yahudi, beliau heran karena tidak ada lagi ludah terbang. Satu hari lewat, dua hari lewat, sampai di hari ketiga tetap tidak ada ludah dari sang Yahudi. Rasulullah pun bertanya kepada para sahabat pergi kemana si Yahudi ini, dan beliau mendapat laporan bahwa ternyata dia sedang sakit. Reaksi spontan beliau saat mendengar Yahudi ini sakit adalah langsung mendatangi ke rumahnya. Sesampainya, Apakah rasul menertawakannya atau balas dengan meludahinya???  Tidak,  tapi beliau datang sebagai orang  pertama yang menjenguknya dan mendo’akan kesembuhan untuk yahudi ini.

Kisah lain yaitu tentang kisah beliau yang paling luar biasa bersama pengemis yahudi buta, di sudut pasar Madinah Al-Munawarah terdapat seorang pengemis Yahudi buta yang hari demi hari apabila ada orang yang mendekatinya ia selalu berkata "Wahai saudaraku jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir, apabila kalian mendekatinya kalian akan dipengaruhinya". Setiap pagi Rasulullah S.A.W. mendatanginya dengan membawa makanan, dan tanpa berkata sepatah kata pun Rasulullah s.a.w. menyuap makanan yang dibawanya kepada pengemis itu walaupun pengemis itu selalu berpesan agar tidak mendekati orang yang bernama Muhammad.  Rasulullah S.A.W  melakukannya hingga menjelang  Nabi Muhammad S.A.W wafat.



SubhanAllah, ini lah kesabaran dan kebijaksanaan yang Rasul ajarkan kepada ummatnya, sungguh beliau adalah teladan terbaik,Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab:21).  Sangat disayangkan jika pelajaran-pelajaran berharga dari beliau hanya sekedar menjadi penghias buku dongeng anak sebelum tidur, atau hanya menjadi pemanis bibir ketika berkhutbah. Bukankah selama ini kita dengan sangat bangga mengatakan “Bahwa kami adalah ummat Muhammad” ???

Ada kalanya memang dikondisi tertentu “perasaan” menjadi “raja”, dan mungkin inilah hikmah kenapa Allah mengajarkan hambaNya untuk selalu berperasangka baik, tidak setiap sesuatu yang menyakitkan itu datangnya karena sifat dengki, tidak setiap cacian, hujatan itu hadir karena kebencian. Bahkan orang tua kita pun dalam menyampaikan nasihat tidak selalu dengan senyuman dan pelukan, terkadang ada sebagian orang tua menyampaikan sayangnya dengan sindiran atau tak jarang dengan cubitan. Hanya bentuk penyampaiannya saja yang berbeda, maksudnya tetap sama untuk meluapkan rasa “CINTA” kepada anak-anaknya.

Jika pada akhirnya pun terbukti setiap hujatan yang mengalir itu karena kebencian, kita semua pun tau jika  mengalah bukan berarti kalah, namun mengalah untuk merangkul dan selanjutnya untuk menang”. Dengan mengutip tulisan  dari Muhammad Assad "Notes From Qatar" : "you may lose the battle but you win the war". Kewajiban kita hanya berbuat baik sebanyak dan sebisa yang kita lakukan, dalam kondisi seburuk apapun dan bersama siapapun, bukankah itu yang Allah ajarkan kepada kita dalam Al-Qur’an??? Sebagaimana dalam QS. An-Nahl : 90 Allah SWT berfirman: Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil dan berlaku baik.”

Sampai kapanpun kita harus menyadari bahwa kita manusia, hidup bersama manusia dan harus dimanusiakan karena “We are a human not an angel”. Kita adalah manusia biasa bukan malaikat dan sifat dasar manusia ialah pelupa dan salah. Dan sejatinya kita dituntut untuk terus belajar mengenal, mengerti, dan memahami makna “CINTA”. Semoga bermanfaat. WALLAHU A’LAM.

Penulis : Azkiya

Gambar : pinterest.com Sungguh lembaran sejarah telah banyak bercerita betapa agungnya Muhammad Rasulullah SAW. Pantas saja jika seorang ast...



Gambar : dakwatuna.com

"Dari sekian banyak kemungkinan, kamu pilih yang mana?" 

Ucapku lirih, pandanganku masih terpaku ke arah langit. Pendar oranye dari bayangan purnama malam ini begitu mengesankan. Seakan bercerita, bahwa ada begitu banyak hal yang tak mampu dilukiskan oleh kata-kata, hanya tersisa bulan yang kini membisu-menyaksikan segalanya. 

Ia menghela nafas. Menatapku sekilas. 

"Sederhana. Yang paling banyak memberikan kebahagiaan". 

Aku menoleh, keningku mengerut tipis. 

"Meski kau harus mengorbankan banyak hal?"

Ah, selalu begini. Aku tak pernah bisa mencapai apa yang ada dalam pikirannya. Sekalipun tak pernah. 

Ia tersenyum simpul. Sorot matanya kini menatapku hangat, membuatku terdiam sesaat. 

"Bagiku... kebahagiaan itu tak pernah diukur dari sedikit atau tidaknya yang harus dikorbankan. Kau akan selalu menemukan alasan untuk bahagia, sesulit apapun pilihannya, sebesar apapun pengorbanannya. Dan percayalah, selama kamu yakin tak akan ada penyesalan yang muncul setelahnya, maka semua menjadi sederhana lakukan atau kebahagiaanmu akan menghilang seutuhnya." 

Aku mengangguk. Mendengarnya takdzim. 

Gestur wajahnya seakan menjelaskan banyak hal. Tentang kemantapan hati. Tentang pendirian yang kokoh. Tentang kerelaan yang tulus. Segala hal menjadi sederhana, ketika ia mulai berbicara. 

"Meski itu berarti melepas kebahagiaan yang lain pergi?" 

Tanyaku beberapa detik kemudian. Hening. 

Ia menyandarkan tangan ke belakang, merebahkan badan. 

"Tak ada kebahagiaan yang pergi, Ka. 
Ia hanya berganti. Ketika disandingkan dengan penerimaan, maka kebahagiaan akan selalu menemukan jalannya pulang. Mungkin bukan melalui jalan yang kita inginkan, namun setidaknya ia tidak tersesat. Ia akan tetap sampai pada tujuan"

Ia menjawab mantap. Matanya terpejam, menikmati semilir angin laut yang menyejukkan. 

Senyap. Hanya terdengar suara debur ombak, menyatu dengan dengingan serangga. Kalau saja manusia bisa merekam momen dan menyimpannya dalam botol kaca, mungkin momen ini akan menjadi salah satunya. 

Aku menunduk, menatap riak-riak air yang bergelombang pelan, menyapa sudut-sudut kayu di ujung dermaga. Kemudian aku merogoh kantung, teringat akan perahu kertas yang kami buat sesiangan tadi bersama anak-anak pulau ini. Kualirkan perahu kertas itu ke permukaan air. Perlahan perahu itu terhanyut, membiarkan lautan membawanya pergi tanpa pertanyaan.

"Jadi seperti ini rasanya melepaskan", gumamku pelan. 

Ia terbangun, menepuk-nepukkan tangan ke sisi kirinya. Lalu menoleh ke arahku, seakan terusik oleh apa yang aku lakukan barusan. 

"Kau tahu.....".  ucapnya. 

Aku hanya diam. Menunggu.

"Kata ayah, cara termudah untuk bahagia adalah melepaskan. Semakin tulus kau melepaskan sesuatu, maka akan semakin lapang hatimu untuk menerima kebahagiaan-kebahagiaan yang baru." 

Satu per sekian detik. Aku hanya membalasnya lemah.

"Entahlah, aku rasa melakukannya selalu lebih rumit ketimbang mengatakannya." 

"Melepaskan Ka, bukan melupakan. Sesuatu yang kita lepas pergi, bukan berarti ia tidak akan kembali lagi. Jika langit menakdirkan, ia akan kembali dengan cara yang mengagumkan. Kamu paham hal itu, bukan?" 

bicaranya tenang, namun terselip ketegasan di sudut matanya. 

Mungkin bukan hanya aku satu-satunya orang yang merasakan, tapi orang-orang di sekitarnya pastilah berpendapat demikian. Bahwa ia selalu bisa meyakinkan seseorang dengan cara yang berbeda dari orang kebanyakan : menghargai, bukan menghakimi. 

"Tapi, bagaimana jika..."

Ucapanku terhenti. Tak ingin mengatakannya lebih jauh. Tak ingin membiarkan sesak itu kembali menguap. ingin merusak dinding-dinding yang telah susah payah kubuat. 

la memotong pembicaraan, seakan tahu apa yang ingin aku katakan. 

"Selalu saja begitu. Terlalu sibuk dengan apa-apa yang belum terjadi di hadapanmu. Namun lupa, akan apa-apa yang sejatinya bisa kau raih dari sekelilingmu. Cukup. Bukankah kamu yang mengatakan untuk merelakan segalanya pada Yang Maha Menentukan? Lantas apa lagi yang harus dikhawatirkan?" 

Aku menghela nafas sejenak. Percakapan ini semakin menimbulkan sekelumit pertanyaan. Meski di satu sisi, juga menanamkan begitu banyak pemahaman. Aku mengerti, lebih dari mengerti akan apa-apa yang ia katakan. 

"Merelakan juga berarti siap untuk menghadapi segala hal yang tak sesuai dengan harapan. Jika saat ini kamu belum siap, tak apa. Tapi kelak, ketika kamu sudah memasrahkan segalanya, maka percayalah akan selalu ada orang orang yang menguatkan. Kamu tak akan pernah berjalan sendirian. Tak akan pernah". Ujarnya lembut. 

Tatapan kami menerawang ke depan. Menyadari bahwa masih tersisa petualangan panjang yang harus dilalui, masih banyak makna-makna hidup yang belum kami temui, masih tersimpan rahasia-rahasia langit yang menanti di akhir perjalanan ini.

Dan kami juga sadar. Pada akhirnya, titik temu dari semua ini adalah tentang sebuah keyakinan. Bahwa janji langit tak akan pernah tertukar. Ia akan tetap terjadi, meski itu tidak selaras dengan apa yang manusia inginkan. Yang tersisa hanya bagaimana kita bersedia untuk mengikhlaskan. Seperti perahu kertas yang mengalir, membiarkan lautan membawanya pergi tanpa pertanyaan. 


Penulis : Azka Sa'dan

Gambar : dakwatuna.com "Dari sekian banyak kemungkinan, kamu pilih yang mana?"   Ucapku lirih, pandanganku masih terpaku ke arah l...