Dosa Seorang Prajurit
Takut |
***
“Bbm-mu aktif kaan. Jgn sering di on off-in napah. Aku lagi kepikiran nilai ujian nih. Kepikiran banyak maksiat. Ya Allah takut bgt.”
Sebuah direct message Twitter yang dia kirim pada seorang temannya tiga tahun lalu, saat liburan semester. Sebut saja namanya Bunga, kala itu ia seorang siswi kelas 3 SMA disebuah pesantren yang lokasinya mungkin tidak terdeteksi oleh GPS. Sebut saja pesantrennya bernama Kurnia Maju.
“Hiks..... samaaa T_T”, balas sang teman.
Di pesantren Kurnia Maju, kebahagian, tawa dan hore-hore an bisa lenyap hanya dengan selembar kertas jadwal ujian, ibaratnya Dementor di film Harry Potter. Bunga dan mungkin juga teman-temannya tidak tahu-menahu mengapa sosok “ujian” begitu horor di sekolah mereka. Iklimnya memang sudah seperti itu sejak pertamakali mereka. Sesaat jadwal ujian dikumandangkan, sesaat itu pula lampu-lampu pada malam hari tidak akan pernah lagi padam sampai bendera libur dikibarkan, saat itu pula para siswa dan siswi mulai membujuk tubuh agar dapat bertahan lebih lama. Tidak ketinggalan bab ibadah, ibaratnya prajurit yang akan dikirimkan ke medan perang, amal yaumi pun meningkat drastis; puasa sunat, sholat berjamaah tepat waktu, tilawah, dhuha, qiyamullail, tahajud, bahkan mungkin hampir semua jenis sholat yang ada di buku-buku Fikih dilakukan siswa-siswi Kurnia Maju saat masa-masa ujian.
***
“Pada suatu kesempatan saat hendak melakukan ekspansi ke Persia, dalam suratnya kepada Sa’ad bin Abi Waqqas, Umar radhiayallu’anhu menyampaikan: Amma ba'd. Maka aku perintahkan kepadamu dan orang-orang yang besertamu untuk selalu bertakwa kepada Allah dalam setiap keadaan. Karena, sesungguhnya takwa kepada Allah adalah sebaik-baik persiapan dalam menghadapi musuh dan paling hebatnya strategi dalam pertempuran. Aku perintahkan kepadamu dan orang-orang yang bersamamu agar kalian menjadi orang yang lebih kuat dalam memelihara diri dari berbuat kemaksiatan dari musuh-musuh kalian. Karena, sesungguhnya dosa seorang prajurit lebih ditakutkan atas mereka daripada musuh-musuh mereka. Sesungguhnya kaum muslimin meraih kemenangan tidak lain adalah karena kedurhakaan musuh-musuh mereka terhadap Allah.”
Terngiang-ngiang oleh Bunga suara lembut murabbiyah-nya minggu lalu. Sudah 3 tahun ia berstatus sebagai seorang mahasiswi di sebuah kampus internasional di luar negri, yang berarti sudah 3 tahun pula ia mengikuti agenda liqo pekanan yang telah ia wajibkan bagi dirinya. “Agar kalian menjadi orang yang lebih kuat dalam memelihara diri dari berbuat kemaksiatan”, kata-kata ini menancap dalam sekali di pikirannya.
“Maksiat itu juga bertingkat-tingkat, berlevel-level”, lanjut sang MR. “Inshallah dalam posisi kita hari ini, maksiat kita bukan lagi tentang mencuri, judi atau minuman keras. Maksiat kita, dosa kita mungkin memang tidak lagi tentang meninggalkan sholat, tapi tentang sesegera apa kita menyahut panggilan adzan, dan melangkah menuju rumah-Nya. Maksiat kita ada pada bab ‘fawailul lil mushollin’, maksiat kita tentang orang-orang yang mendirikan sholat tapi celaka. ‘alladziinahum ‘an sholatihim saahuun’, mereka yang melalaikan sholatnya tanpa alasan, wana’udzubillah tsumma na’udzubillah. Dalam Ushul Fiqh, memang timing sholat itu termasuk kewajiban muwasa’, kewajiban yang timing-nya luas.
Tapi sebagai seorang prajurit Allah, kita sangat berkepentingan untuk mengejar keutamaan sebagaimana rasulullah dan para sahabat lakukan yang mengantarkan mereka meraih award menjadi ‘sebaik-baiknya masa’. Karena seperti yang kita tahu, prajurit-prajurit akan berada di perbatasan-perbatasan menjaga tanah air, prajurit-prajurit juga yang akan berada digarda terdepan dalam meng-counter serangann musuh, mereka harus melindungi masyarakat, dan itu tidak hanya dalam medan pertempuran. Jika ibadah mereka biasa-biasa saja, ketakwaan mereka standar-standar saja, dosa mereka juga masih dosa-dosa besar, bagaimana mereka dapat melindungi dan membela masyarakat?.
Ini yang ingin digaris bawahi Umar dari surat beliau, ‘Karena, sesungguhnya takwa kepada Allah adalah sebaik-baik persiapan dalam menghadapi musuh dan paling hebatnya strategi dalam pertempuran’ dan ‘agar kalian menjadi orang yang lebih kuat dalam memelihara diri dari berbuat kemaksiatan dari musuh-musuh kalian.’ Dan inshallah kita disini dalam rangka mempersiapkan diri menjadi prajurit Allah di dunia akademik. Kita menjadi prajurit dengan spesialisasi kita masing-masing. So, mari latih diri kita agar mempunyai standar ibadah seorang prajurit dan paling berhati-hati akan dosa, layaknya seorang prajurit. Dan inshallah di sini, dalam lingkaran kecil ini kita saling mengingatkan dan saling menguatkan bahwa kita adalah prajurit nya Islam!. Allahuakbar!”
***
Pagi itu Bunga agak terburu-buru. Sesekali ia tersandung di aspal jalanan yang datar, sesekalinya lagi dia melihat arlojinya berulang-ulang. Dia deg-deg-an, ia merasa belum siap untuk menyerahkann diri kedalam ruang ujian, ia merasa persiapannya belum maksimal untuk bertempur dengan lembaran soal dan waktu.
Dalam perjalanannya menuju ruang ujian, ia kembali teringat akan surat Umar dan penjelasan murabbiyahnya, sekarang ia sudah mengerti bahwa ke-horor-an masa lalu di Kurnia Maju ibarat pelatihan di camp-camp militer. Anggap saja kala itu ia tengah dilatih menjadi prajurit Islam yang siap ruhiyah, fikriyah dan jasadiyah. “Bismillah. Subhaanaka la ‘ilma lana illa ma ‘allamtana” –Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui kecuali apa yang telah Engkau telah ajarkan pada kami- ucapnya lirih ia melafadzkan potongan ayat 32 surat Al-Baqorah, sembari duduk di kursi panas.
Dalam perjalanannya menuju ruang ujian, ia kembali teringat akan surat Umar dan penjelasan murabbiyahnya, sekarang ia sudah mengerti bahwa ke-horor-an masa lalu di Kurnia Maju ibarat pelatihan di camp-camp militer. Anggap saja kala itu ia tengah dilatih menjadi prajurit Islam yang siap ruhiyah, fikriyah dan jasadiyah. “Bismillah. Subhaanaka la ‘ilma lana illa ma ‘allamtana” –Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui kecuali apa yang telah Engkau telah ajarkan pada kami- ucapnya lirih ia melafadzkan potongan ayat 32 surat Al-Baqorah, sembari duduk di kursi panas.
Dan aku pun mulai sibuk menyiapkan alat tulis ku. “Bittaufiq wannajah, ujiannya kawan!”
Penulis: Qoriatul Hasanah
0 Komentar: