Cemburu~
Envy, envy, envy
Ketika melihat kakak kelas memenangkan lomba karya tulis ilmiah.
Ketika mendengar lantunan qur’an dari seorang huffadz yang sudah hafal lebih dari 15 juz.
Ketika melihat koleksi buku teman yang lebih banyak.
Ketika melihat teman sekelas ngambis buat ngejar cita-cita akademiknya.
Ketika merasakan manfaat karya dari seorang pemuda yang memiliki pengaruh besar terhadap masyarakat.
Ada sebuah perasaan yang bergejolak dalam hati. Komposisi dari inspirasi, motivasi dari sebuah byproduct bernama ‘cemburu’. Dalam bahasa Inggris, cemburu dapat berarti jealous atau envy. Kedua kata ini memiliki makna berbeda. Jealous ketika merasa kehilangan kasih sayang yang ingin kita raih dari seseorang. Contohnya adalah, ketika adik di belikan iphone 6 oleh orangtua dan kita tidak atau ketika menyaksikan seorang yang kita taksir selama 8 tahun sudah dipinang orang lain. Sakitnya tuhh… ah sudahlah pembaca sekalian pastinya memiliki pengalaman yang lebih soal rasa jealous ini.
Lalu apa itu envy? Envy adalah kecemburuan yang di tujukan kepada orang lain karena suatu kualitas, kemampuan dan kelebihan yang dimilikinya. Contohnya ketika melihat gambar seorang teman kita di beranda facebook sedang tersenyum lebar dengan jari menunjuk ke langit di bawah Eiffel Tower, di temani orang-orang perancis yang tampan nan jelita yang juga sedang tertawa lebar . pada status facebooknya tertulis :
“ At last I can enroll at the university in the country of my dreams! Viva la France!”
Kesel gak? Mungkin kita akan memberikan komentar “selamat ya!! jangan lupa oleh-oleh jugaa hehe”. Namun dalam lubuk hati terdalam terdapat sebuah perasaan yang ingin kita lampiaskan. Terkadang hal tersebut pudar diiringi perasaan “Ah ya sudahlah. Rejeki maneh”. Terkadang hal tersebut menjadi sebuah tekanan yang menggonjang-ganjing tubuh kita untuk melakukan sesuatu: belajar, berprestasi! Ya! Cemburu dapat menjadi sebuah driving force yang dapat meroketkan langkah-langkah kaki kita untuk mengangkasa mencapai bintang prestasi. Terkadang cita-cita passion lahir dari sini.
That Thing Called Shame
Kadangkala envy yang overdosis dapat memicu suatu perasaan; yakni rasa malu atau rasa tidak berdaya. Mungkin sebuah proverb Sunda dapat sedikit menjelaskan fenomena ini:
Da aku mah apa atuh dibanding kamu, hanya sebutir debu.
Kontras yang dirasakan setelah membandingkan diri terhadap orang lain yang memiliki pencapaian tinggi dalam hidup membuatmu merasa kerdil sehingga merenung dan mempertanyakan lagi apa arti eksistensi kamu? Kenapa kamu hidup begini-begini aja? Minim prestasi, sedikit relasi dan miskin kontribusi. Brene Brown seorang terapis yang meneliti tentang shame atau rasa malu ini mengatakan bahwa ketika manusia merasakan hal tersebut maka bukan lagi dia merasa bersalah namun dia berfikir bahwa dialah masalahnya. Perasaan yang kompleks ini timbul akibat tidak menghargai diri sendiri.
How can we treat others nicely when we can’t treat ourselves nicely?
Mungkin ini menjadi sebuah perenungan bagi orang-orang yang secara tidak sadar berfikir bahwa lebih baik menyiksa diri sendiri daripada disiksa orang lain. menurut Brene, "vulnerability atau ketiakberdayaan saya yang terpancar dari tulisan tersebut mengandung suatu kekuatan tersendiri, yang menggambarkan saya sebagai seorang manusia yang ternyata banyak celah." Hal ini akan mendorong kita untuk merajut kembali celah-celah tersebut dengan sesuatu yang lebih kuat dan mendorong kita untuk terus berlatih dan bangkit dari kegagalan, karena seorang penulis, inovator ataupun entrepreneur adalah mereka yang telah melakukan effort dan eksperimen dalam jumlah yang tidak sedikit.
Sebuah nasihat khususnya untuk saya pribadi:
Beranilah melakukan sesuatu dan janganlah paranoid dengan kegagalan, sertai effort tersebut dengan quality control yang baik sehingga kualitas akan ikut serta mengiringi kuantitas. Manfaatkan perasaan cemburu yang bergejolak dalam hati-hati kalian kawan, karena jika energi tersebut dimanfaatkan dengan baik maka akan menjadikan kita manusia yang terus menerus memperbaiki diri.
Bahkan sebutir debu dapat memberikan inspirasi. Kita manusia bukan?
Penulis: A. P.
Mudah-mudahan kita dapat mengubah envy negatif (hasad/Ghill [dengki/kita ingin sesuatu kebaikan/kenikmatan seperti yang diperoleh orang lain, dan ingin kebaikan/kenikmatan dari orang itu lenyap] ) menjadi envy positif (Ghibthah [kita menginginkan sesuatu kebaikan/kenikmatan yang dimiliki orang lain, tanpa ingin menghilangkan kebaikan/kenikmatan itu dari orang lain])
ReplyDeleteKalo envy terhadap seorang haafizh yang sudah hafal lebih dari 15 juz lantas mengamalkannya mah in syaa Allah bagus, semoga ini Ghibthah. Aamiin, wallahu a'lamu :-D . . .