Akmal Sjafril: Jangan Takut Bilang LGBT itu Salah!
Akmal Sjafril di IIUM |
Tarik ulur pendapat tentang isu LGBT tengah menghangat akhir-akhir ini. Dikemas melalui berbagai acara di layar kaca, mengudara dari pagi buta hingga malam larut. Pun di sosial media, adu pendapat bahkan tak jarang berakhir pada pemblokiran. Bilik-bilik kajian riuh. Fotar pun berusaha untuk mengulik lebih jauh isu ini. Jumat (19/2) lalu berkesempatan hadir ke forum diskusi Fotar adalah ustaz Akmal Sjafril, peneliti Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS). untuk kemudahan, selanjutnya akan kami tulis Akmal saja.
Perang Pemikiran
Memulakan diskusi, Akmal menggarisbawahi betapa besarnya tantangan yang dihadapi oleh umat Islam era ini. Bila di masa silam umat Islam harus turun ke medan perang untuk menegakkan panji-panji tauhid, maka masa ini umat Islam harus menghadapi peperangan yang lebih rumit: perang pemikirin, ghazwul fikri.“Ghazwul fikri yang harus kita hadapi ini lebih berbahaya daripada perang bersenjata. Kekalahan di perang fisik muaranya adalah syuhada. Sementara kalah dalam perang pemikiran akan menjadikan kita budak, boneka!", tegasnya.
Serangan pemikiran sendiri dilancarkan melalui berbagai cara. Satu diantaranya adalah propaganda media yang memupuk pelabelan umat Islam sebagai teroris. Peristiwa WTC lima belas tahun silam misalkan, selalu meletakkan umat Islam sebagai dalang teror. Tetapi ternyata fakta dan kajian para ahli rancang bangun mengatakan lain.
"Jelas, propaganda semacam itu tak jarang membuat umat Islam ragu membela agama karena takut label terorislah yang malah akan diterima!", ujarnya kemudian.
Itulah mengapa Akmal meyakini paham seperti liberalisme sangat bertentangan dengan Islam. Bukan hanya karena akan membuat umat Islam enggan membela agamanya, tetapi juga meninggalkan pedoman agama atas nama kebebasan. "Tuntunan kita sebagai Muslim kan sudah jelas, Qur'an dan Hadist. Islam salah satu maknanya adalah patuh. Makna lainnya adalah selamat. Jadi kalau mau selamat, ya harus patuh. Apa yang kita imani? Qur'an dan Hadist atau kebebasan?", tanyanya retoris.
LGBT dan Pengetahuan Semu
Lalu bagaimana dengan isu LGBT? Pengajar Universitas Ibn Khaldun Bogor ini berpendapat bahwa itu adalah bagian dari perang pemikiran yang harus umat Islam hadapi. Menurutnya, ajaran-ajaran baru diperkenalkan untuk mengaburkan konsep-konsep yang sudah lebih kukuh.
Konsep jenis kelamin manusia misalnya, dikaburkan menjadi gender. Bahkan dibuat seolah-olah keduanya adalah sinonim, padahal tidak. Jenis kelamin memiliki konsep pengelompokan dan identifikasi yang jelas: laki-laki dan perempuan. Sementara gender memburamkan pengelompokan tersebut menjadi sebatas ciri-ciri: maskulin dan feminin. Worldview barat mempercayai bahwa keduanya adalah konstruksi sosial yang cair, maskulin tidak harus laki-laki dan feminin tidak harus perempuan.
Berangkat dari sinilah konstruksi baru lantas dibangun: hubungan antar lelaki (homoseksual) atau antar perempuan (lesbian) seolah tidak masalah selama mempertemukan kedua konsep gender, maskulin dan feminin.
Dari konsep yang sama lantas muncul biseksual, mereka yang memiliki kecenderungan untuk berpasangan baik dengan sesama maupun lawan jenis. Dari pembelokan istilah itu pula kemudian dimunculkan konsep transgender: orang yang jenis kelamin dan identitas gendernya tidak bersesuaian.
Konsep-konsep baru tersebut lantas disebarkan (seolah) sebagai pengetahuan. Istilah-istilah baru digunakan. Tentu saja agar lebih mudah diterima oleh umum. Istilah homosexual semisal, baru muncul sekitar awal abad keduapuluh. Sebelumnya terma ini dikenal sebagai sodomite, merujuk pada kaum Sodom yang dilaknat dalam Injil. Dengan penggunaan istilah baru ini, dibuat seolah-olah hal tersebut adalah hal wajar, sekadar bagian dari seksualitas. Bahkan lantas dikenal istilah gay, yang dalam bahasa Inggris juga bermakna bahagia. Upaya pembangunan opini tentu saja.
Pun dengan istilah AIDS, yang digunakan untuk 'memperhalus' istilah Gay-related immune deficiency (GRID) yang sudah terlebih dahulu diusulkan. Merujuk pada satu klaster penyakit yang merebak di kalangan homoseksual di New York and California bagian selatan.
Yang paling lucu menurut Akmal adalah istilah phobia yang kerap kali dilekatkan pada mereka yang tegas menolak LGBT. "Phobia itu termasuk gangguan mental lhoh. Jadi kita yang tegas menolak ketidaknormalan ini malah disebut terganggu mentalnya? Lucu kan? Jangan-jangan malah mereka yang phobia pada kenormalan, normal-phobia.", ujarnya terkekeh.
Konsep jenis kelamin manusia misalnya, dikaburkan menjadi gender. Bahkan dibuat seolah-olah keduanya adalah sinonim, padahal tidak. Jenis kelamin memiliki konsep pengelompokan dan identifikasi yang jelas: laki-laki dan perempuan. Sementara gender memburamkan pengelompokan tersebut menjadi sebatas ciri-ciri: maskulin dan feminin. Worldview barat mempercayai bahwa keduanya adalah konstruksi sosial yang cair, maskulin tidak harus laki-laki dan feminin tidak harus perempuan.
Berangkat dari sinilah konstruksi baru lantas dibangun: hubungan antar lelaki (homoseksual) atau antar perempuan (lesbian) seolah tidak masalah selama mempertemukan kedua konsep gender, maskulin dan feminin.
Dari konsep yang sama lantas muncul biseksual, mereka yang memiliki kecenderungan untuk berpasangan baik dengan sesama maupun lawan jenis. Dari pembelokan istilah itu pula kemudian dimunculkan konsep transgender: orang yang jenis kelamin dan identitas gendernya tidak bersesuaian.
Konsep-konsep baru tersebut lantas disebarkan (seolah) sebagai pengetahuan. Istilah-istilah baru digunakan. Tentu saja agar lebih mudah diterima oleh umum. Istilah homosexual semisal, baru muncul sekitar awal abad keduapuluh. Sebelumnya terma ini dikenal sebagai sodomite, merujuk pada kaum Sodom yang dilaknat dalam Injil. Dengan penggunaan istilah baru ini, dibuat seolah-olah hal tersebut adalah hal wajar, sekadar bagian dari seksualitas. Bahkan lantas dikenal istilah gay, yang dalam bahasa Inggris juga bermakna bahagia. Upaya pembangunan opini tentu saja.
Pun dengan istilah AIDS, yang digunakan untuk 'memperhalus' istilah Gay-related immune deficiency (GRID) yang sudah terlebih dahulu diusulkan. Merujuk pada satu klaster penyakit yang merebak di kalangan homoseksual di New York and California bagian selatan.
Yang paling lucu menurut Akmal adalah istilah phobia yang kerap kali dilekatkan pada mereka yang tegas menolak LGBT. "Phobia itu termasuk gangguan mental lhoh. Jadi kita yang tegas menolak ketidaknormalan ini malah disebut terganggu mentalnya? Lucu kan? Jangan-jangan malah mereka yang phobia pada kenormalan, normal-phobia.", ujarnya terkekeh.
Lawan
Akmal menegaskan bahwa saat ini umat Islam seharusnya tidak lagi terkungkung wacana boleh atau tidak, dukung atau anti. Qur'an sudah secara jelas menjelaskan sikap oposannya melalui kisah kaum kaum nabi Luth. Akmal menjelaskan pula struktur unik surat al-Hijr yang memuat kisah nabi Muhammad yang diolok-olok orang-orang kafir dan ditantang untuk mendatangkan malaikat di bagian awal surat.
Tantangan tersebut lantas dijelaskan melalui ayat 8 surat tersebut, Kami tidak menurunkan malaikat melainkan dengan benar (untuk membawa azab) dan tiadalah mereka ketika itu diberi tangguh. Dan 'diberikan contoh' melalui turunnya malaikat untuk menghukum umat Luth yang sodom pada paruh kedua surat.
Akmal menandaskan, dengan apa yang sudah dijelaskan panjang lebar dalam Al Qur'an, umat Islam harus mulai mengalihkan energinya untuk melakukan perlawanan. "LGBT itu salah. Dasarnya jelas. Kita harus lebih fokus ke bagaimana melawan ide-ide pembenaran konsep tersebut!"
Dalam konteks dakwah, Akmal berpendapat kita harus bisa membangun satu konstruksi ide yang tidak hanya menunjukkan bahwa konsep yang mereka usung itu salah, tetapi juga tidak sesuai dengan fitrah manusia.
Bila mereka gencar menyebarkan opini mereka di sosial media semisal, maka kita juga tidak boleh kalah gencarnya mengingatkan umat. Akmal pun mengisahkan pengalamannya yang sampai diblokir oleh Facebook karena mengunggah grafis bahwa LGBT adalah penyakit.
Dan karena itu penyakit, Akmal yakin bahwa kaum LGBT bisa disembuhkan, sebagaimana juga disebutkan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia dalam pernyataan sikapnya.
"Yang paling bersesuaian dengan kiprah teman-teman mahasiswa pada akhirnya kerja-kerja akademik. Jangan sampai teman-teman ini iya-iya saja dijejali dengan berbagai pengetahuan semu. Bolong-bolong logikanya akan sangat mudah dikenali kok. Jangan takut untuk mengatakan mereka itu salah!"
Wallahu a’lam bish shawaab.
*Pengelompokan bagian-bagian catatan ini semata dilakukan untuk mempermudah pembacaan. Pembicara sendiri membagi pembicaraannya ke dalam tiga topik umum: ghazwul fikri, liberalisme, dan LGBT. Catatan ini juga mengikutkan sebagian besar materi tanya jawab. (Red)
Tantangan tersebut lantas dijelaskan melalui ayat 8 surat tersebut, Kami tidak menurunkan malaikat melainkan dengan benar (untuk membawa azab) dan tiadalah mereka ketika itu diberi tangguh. Dan 'diberikan contoh' melalui turunnya malaikat untuk menghukum umat Luth yang sodom pada paruh kedua surat.
Akmal menandaskan, dengan apa yang sudah dijelaskan panjang lebar dalam Al Qur'an, umat Islam harus mulai mengalihkan energinya untuk melakukan perlawanan. "LGBT itu salah. Dasarnya jelas. Kita harus lebih fokus ke bagaimana melawan ide-ide pembenaran konsep tersebut!"
Dalam konteks dakwah, Akmal berpendapat kita harus bisa membangun satu konstruksi ide yang tidak hanya menunjukkan bahwa konsep yang mereka usung itu salah, tetapi juga tidak sesuai dengan fitrah manusia.
Bila mereka gencar menyebarkan opini mereka di sosial media semisal, maka kita juga tidak boleh kalah gencarnya mengingatkan umat. Akmal pun mengisahkan pengalamannya yang sampai diblokir oleh Facebook karena mengunggah grafis bahwa LGBT adalah penyakit.
Dan karena itu penyakit, Akmal yakin bahwa kaum LGBT bisa disembuhkan, sebagaimana juga disebutkan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia dalam pernyataan sikapnya.
"Yang paling bersesuaian dengan kiprah teman-teman mahasiswa pada akhirnya kerja-kerja akademik. Jangan sampai teman-teman ini iya-iya saja dijejali dengan berbagai pengetahuan semu. Bolong-bolong logikanya akan sangat mudah dikenali kok. Jangan takut untuk mengatakan mereka itu salah!"
Wallahu a’lam bish shawaab.
*Pengelompokan bagian-bagian catatan ini semata dilakukan untuk mempermudah pembacaan. Pembicara sendiri membagi pembicaraannya ke dalam tiga topik umum: ghazwul fikri, liberalisme, dan LGBT. Catatan ini juga mengikutkan sebagian besar materi tanya jawab. (Red)
LGBT yang gak mau disembuhin harus di usir aja dri negeri ini
ReplyDelete