Catatan Konflik Lawas Gereja vs Sains
Sobat, ada satu buku menarik: Islam and Science yang ditulis oleh Pervez Hoodbhoy (1991). Keren deh! Dijamin nggak ngebosenin juga kok! Salah satu bab-nya yang berjudul: The War between Science and Medieval Christianity. Coba baca deh.
Di awal tulisan aja diawali dengan statement ini: The wife of the Bishop of Worcester, when informed about Darwin’s theory commented, "Descended from apes! My dear, let us hope that it is not true, but if it is, let us hope that it may not become generally known" (Hoodbhoy, 1991).
Guys, you know what, ternyata doa Nyonya ini dikabulkan Tuhan, karena teori ini akhirnya muncul juga ke permukaan. yang artinya, seperti ucapan Nyonya tadi, ini nggak benar. Karena kalau benar, maka tentunya ini hanya akan menjadi sebuah rahasia sakral. Begitu kan?! (ngasal deh!)
Back to the topic! Seperti yang kita ketahui, Gereja Eropa menjalankan kekuasaanya dengan tangan besi pada abad pertengahan. Bawaannya tuh curiga mulu. Penuh prasangka. Bahkan seringkali terkesan irasional ketika mengeluarkan keputusan, misalnya bahwa orang yang memiliki tahi lalat, itu artinya penyihir, utusan setan. Ckkk..
Kita juga tahu bagaimana Galileo dihukum karena berani menyatakan bahwa bumi itu bukan pusat tata surya. Bumi justru berotasi mengitari matahari, the center of solar system. Ini bertentangan dengan apa yang diyakini gereja saat itu. Maka pak tua Galileo pun akhirnya harus mengalami nasib tragis demi keyakinannya tersebut.
Dibawah ini adalah beberapa catatan sejarah konflik Gereja vs Sains yang pertama kali ditulis oleh Andrew Dickson White dalam buku A History of the Warfare of Science with Theology in Christendom (1896). Perlu diketahui, Andrew kemudian menjadi presiden pertama Cornell University.
Ketika teori yang menyatakan bahwa bumi itu bulat dan memiliki antipoda ( kutub) muncul, ini dicemooh oleh para teolog. Mereka bertanya: "Apakah ada orang yang begitu bodoh untuk percaya bahwa pohon dan tumbuhan tumbuh ke bawah? Bahwa hujan dan salju jatuh keatas?".
Para gerejawan St.Augustine yang otoriter juga keras menentang adanya daerah kutub diatas bumi yang dipercayai berbentuk bulat oleh sebagian ilmuwan dan tetep kekeuh memegang taklid buta selama ribuan tahun bahwa tidak mungkin ada manusia yang hidup di sisi lain bumim bahkan mereka terlalu sulit untuk percaya bahwa bumi juga memiliki sisi satu lagi.
Nah... Pada abad ke-6 Procopius of Gaza malah nambahin pernyataan yang tidak kalah aneh lagi: “Tidak mungkin bumi memiliki sisi yang lain selain daripada yang kita pijak hari ini. Karena kalau ada, maka Yesus harus pergi kesana dan menderita lagi untuk yang kedua kalinya. Bahkan harus ada duplikat Adam yang baru, surga Eden, juga banjir besar nuh disana. Maka, tidak mungkin ada antipoda!”
Itu baru soal teori bumi bulat. Kini soal penyakit. Santa Paul dengan PeDe mendeklarasikan bahwa itu adalah buah karya Iblis. Pemuka gereja mengatakan bahwa Iblis-lah yang menciptakan kelaparan, kegagalan panen, polusi dan wabah. Mereka menjelma sebagai awan dilangit terendah dan menjalar ke dalam darah.
Sekitar tahun 1770, satu gejala alam terjadi di Eropa. Sebuah kesaksian yang dikirim ke Royal Academy of Scince mengatakan bahwa air sungai telah berubah warna menjadi merah darah. Lagi-lagi, gereja merumuskan bahwa Tuhan sedang ngambek. Padahal, setelah dikaji oleh seorang naturalis Swedia, Linnaeus, disimpulkan bahwa air menjadi merah itu adalah karena meledaknya populasi serangga tertentu dan itu hanya hal yang biasa. Mendengar diagnosa terbaru ini, segera gereja menampik bahwa penemuan saintifik itu adalah kesesatan setan dan bahwa berubahnya warna air menjadi merah darah adalah hal yang tidak biasa. Karena Linnaeus tak ingin hidupnya berakhir tragis seperti Galileo, maka dia pun menarik kembali penemuannya tersebut.(Cari jalan selamat aja deh!)
Pun dengan komet. Gereja menganggapnya sebagai bola api yang dikirim dari langit karena Tuhan marah. Maksudnya, kalo ada komet melintas, itu artinya legitimasi dari Tuhan untuk segera meng-eksekusi orang-orang yang tersesat. Bahkan pada abad ke-17, para profesor astronomi harus diambil sumpah untuk mencegah mereka mengajarkan bahwa komet hanyalah gejala alam yang bisa dijelaskan secara rasional dengan hukum fisika. Sayangnya sains tidak bisa dibohongi. Akhirnya, Halley tetap lantang muncul dengan teori komet Halley-nya yang memang terbukti 76 tahun kemudian, bersamaan dg munculnya komet itu. (gigit jari deh tu!)
Pada abad pertengahan, badai dipercayai oleh gereja, lagi-lagi sebagai ulah Iblis. Mereka percaya bahwa dengan memukul lonceng selama badai berlangsung adalah cara yang terbaik untuk melawannya. Di abad ke-15 bahkan lebih parah lagi, mereka percaya bahwa perempuan tertentu diyakini memiliki kekuatan untuk membuat angin puyuh, hujan es, banjir, dan semacamnya. Maka mereka pun dikejar untuk dieksekusi agar badai tidak lagi datang dan merusak pertanian. Dan akhirnya pada tanggal 7 Desember 1484, Pope Innocent VIII mengetuk palu mengesahkan pembantaian ribuan wanita yang dicurigai gereja sebagai pembawa musibah.
Lain lagi dengan halilintar atau petir, halilintar divonis sebagai akibat dari 5 dosa: tidak menyesal ketika berbuat dosa, ketidakpercayaan, mengabaikan perbaikan gereja, penipuan dalam pembayaran sumbangan kependetaan, dan penindasan terhadap bawahan. ‘Jari Tuhan’ adalah julukan untuk petir. Kemudian, pada tahun 1752, muncul Benjamin Franklin dengan teori bahwa petir adanlah percikan listrik di angkasa. Lalu dibuatlah tiang petir yang gunanya sebagai konduktor ketika listrik angkasa tersebut menyambar bumi. Seperti sebelumnya, saat itu gereja menolak mentah-mentah salah satu teori sains ini. Tapi masyarakat ternyata lebih percaya kepada Franklin. Terjadinya gempa bumi pada tahun 1755 di Massachussetts, dijadikan kambing hitam sebagai konsekuensi buruk dari tongkat petir Franklin. Konflik pun berlanjut, di Jerman, antara tahun 1750-1783, ada sekitar 400 menara gereja yang hancur dan 120 pemukul lonceng yang tewas oleh petir. Anehnya, kota Brothel yang tetap setia dengan tongkat petirnya, ternyata selamat dari badai yang dahsyat sekalipun. Bahkan beberapa gereja kecil di kota tersebut juga tidak tersentuh jilatan petir. Maka akhirnya, di akhir abad itu, kembali gereja dengan terpaksa harus menelan pil pahit kekalahannya terhadap sains.
Nah sobat, inilah sedikit poin yang rasanya cukup memberikan gambaran pada kita betapa susahnya gereja akur dengan sains dan logika. Mungkin karena masalah inilah, banyak jemaahnya yang akhirnya lebih memilih menjadi atheis daripada terus menerus dicekoki dengan irrational thought. Secara kita sudah modern (sains & teknologi) gitu loh! Namun sayangnya, ini kebablasan. Sekarang malah ada pindah ke kepercayaan lain yaitu saintologi.
Disamping itu, dunia modern ternyata tidak membiarkan gereja melupakan kejahatan masa lalunya begitu saja. Pada 9 Mei 1983, dalam peringatan 350 tahun Galileo di Roma, Pope John Paul II menyatakan, “...the Church’s experience, during the Galileo affair and after it, has led to a more mature attitude..." "...It is only through humble and assiduous study that (the Church) learns to dissociate the essential of faith from the scientific system of a given age...”
Pada 31 Oktober 1992 Otoritas Vatikan resmi mengoreksi kesalahan putusan hukum terhadap Galileo. Ketua komisi khusus yang dibentuk meneliti kasus Galileo, seperti dikutip oleh New York Times, menyatakan, "We today know that Galileo was right." Gereja meminta maaf.
Pada 31 Oktober 1992 Otoritas Vatikan resmi mengoreksi kesalahan putusan hukum terhadap Galileo. Ketua komisi khusus yang dibentuk meneliti kasus Galileo, seperti dikutip oleh New York Times, menyatakan, "We today know that Galileo was right." Gereja meminta maaf.
Sebuah permintaan maaf yang sungguh kelewat telat tentu saja! Bayangkan, itu adalah peristiwa 3,5 abad lalu! Selama itukah Gereja perlu beradaptasi dengan Sains dan Logika?! Betapa sangat beruntungnya kita para sahabat Muslim yang diberi nimat paling besar oleh Allah, yaitu nikmat Islam. Agama yang tak tarsanggah kebenarannya, yang lebih dahulu mengetahui kebesaran Allah di alam semesta ini dari pada ilmu sains sendiri. Allahu Akbar!
Penulis: Ratih Febrian
0 Komentar: